Wednesday 4 April 2018

Oh Inikah Rasanya? Expectation VS Reality Check


Hallo! Tulisan ini adalah salah satu artikel di dalam buku yang kami (putra-putri daerah Sulawesi-Tenggara yang menerima beasiswa berkuliah di luar negeri) terbitkan dan luncurkan pada tanggal 31 April 2018.  Judulnya 'Wa Ina O' Ama, We Are Abroad'. Semoga bisa bermanfaat. Dulu, ini hanya draft yang saya tulis pada masa 5 bulan saya menginjakkan kaki  di negaranya Harry Potter ini. Saya tidak mempostingnya di blog karena bukunya belum terbit, hehehe. Nah berikut adalah pengalaman saya yang lima bulan itu. Kalau sekarang mah, saya sudah satu setengah tahun nih di sini. pengalamannya udah banyak, ceritanya juga sudah bertambah pula.

ini penampakan bukunya. Aku belumpegang sama sekali.
Foto ini kiriman dari Indah, teman saya 😀

Tapi, yang saya posting kali ini adalah apa yang saya alami selama 5 bulan itu. Dari yang menyenangkan sampai yang kurang menyenangkan. Yeah seperti semua hal di dunia ini, semuanya datang sepaket, berpasang-pasangan, ada harapan ada kenyataan, ada senang ada sedih. Tidak ada hanya sedih saja atau senang saja. Tidak ada!

Kenapa Luar Negeri??

Baiklah, kita mulai dari ekspektasi saya sebelum sampai di sini. Seperti kebanyakan pemimpi lainnya, saya selalu bercita-cita untuk bisa tinggal di luar negeri. Kenapa? Karena dalam perspektif saya kala itu, luar negeri itu selalu lebih hebat dari Indonesia hampir dalam segala hal. Luar negeri serupa simbol kemakmuran, kecanggihan, kehebatan, dan kemajuan. Maka tak heran segala hal yang berbau luar negeri selalu memesonaku. Apalagi dulu ketika masih kuliah di jenjang strata satu, saya bertemu dengan dosen yang sangat menginspirasi saya, Ibu Sartiah Yusran, yang merupakan lulusan perguruan tinggi di luar negeri. Saya melihatnya sebagai sosok yang sangat enerjik, berani dan cerdas. Pada detik beliau berbicara di depan kelas, saya berjanji ingin menjadi seperti beliau. Langkah awal yang bisa saya tempuh untuk menjadi seperti beliau adalah dengan menjadi dosen, dan kemudian kuliah di luar negeri. Alhamdulillah keduanya sudah saya capai saat ini. Tetapi apakah ketika telah sampai di sini lantas saya sudah keren? Saya sudah sukses? BIG NO!

Ternyata, ada beberapa hal yang tidak sama dengan ekspektasi awal saya dan membuat saya agak kaget. Meskipun sudah mempelajari tentang cross culture understanding, sudah ikut pre-departure briefing juga, kenyataannya, banyak hal dalam hidup ini yang baru dapat kita mengerti ketika kita mengalami sendiri. Berikut adalah pengalaman saya yang mungkin bisa saya bagikan. 

Expectation VS Reality

Sistem Pendidikan.

Harus saya akui, begitu saya “mengiyakan” offer yang diberikan universitas untuk melanjutkan study di University of Bristol, saya langsung dibuat terkagum-kagum oleh sistem pendidikan di kampus ini. Pertama, sedari awal, bahkan ketika saya masih di Indonesia, informasi mengenai silabus mata kuliah yang akan kami ampuh sudah disediakan di blackboard kami masing-masing berisi detail nama perkuliahan, tujuan dan outcome yang hendak dicapai, rules, bahan bacaan yang puanjaaang, PPT yang akan ditampilkan dosen, assessment criteria, bahkan contoh assignment yang mendapat nilai A pada semester lalu. Hal ini belum pernah saya dapatkan selama pengalaman saya menjadi mahasiswa baik pada jenjang S1 dan S2. Semuanya sangat detail dan mudah dipahami. 

Perangkat pembelajaran yang sangat detail sejak awal    


Dengan kelengkapan pembelajaran seperti ini, kami diharapkan sudah “siap tempur” ketika datang ke ke kelas. Maksud dari siap tempur disini adalah, ketika masuk kelas, setidaknya kepala kita tidak kosong. Kita sudah harus tau apa yang akan dibahas, kita harus sudah punya kritik terhadap teori-teori dan hasil penelitian terkait mata kuliah yang kita ambil sehingga kelas menjadi hidup oleh diskusi ilmiah, adu argumentasi yang cantik dan elegan. Ini yang, menurutku, agak horor karena selama ini sudah terbiasa menelan mentah-mentah semua yang tersaji dalam buku maupun artikel jurnal. Apalagi jika melihat penulisnya yang kebanyakan sudah meraih gelar Doktor, huft. Tetapi, jika kita bisa lebih teliti, memang pasti ada celahnya kok bacaan itu, dan kita bebas mengritiknya. Dalam mengkritik bacaan itu, hampir selalu para mahasiswa saling beda pendapat. Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa di sini. Selama kita bisa menjelaskan dasar dari pendapat kita dengan teori yang relevan, semua bisa menerima dengan baik. Tentu saja, untuk bisa mewujudkan atmosfir kelas yang ketjeh itu kita harus sudah siap dong. Sudah harus banyak baca dari at leastsebulan sebelumnya. Karena kalau tidak, percayalah kita hanya akan melongo dan mengutuk diri sendiri kenapaaa tidak baca sejak awal. 

Perpustakaan yang sangat cozy dan nyaman    


 Pada masa awal, bahkan sampai sekarang pun saya masih kesulitan dengan kebiasaan baca reading list sebelum masuk kelas ini. Apalagi, kecenderungan untuk menggampangkan sesuatu seperti kebiasaan saya di Indonesia masih sering terbawa. Di sini, saya menyadari bahwa tidak baca berarti suicide. Kelas yang relatif kecil dan sistem perkuliahan yang menerapkan diskusi aktif tidak memungkinkan kita untuk menyepelekan reading list. Tidak ada ceritanya baca sekenannya tapi tetap bisa dapat A dengan gampangnya seperti pengalaman saya dulu. No Way! Well, here I did read my reading list but there are some terms that I am not familiar with. Jadi, untuk benar-benar mengerti, saya butuh membaca jurnal tersebut berkali-kali, untuk dapat mengerti. Saya juga bahkan seringkali mencoba mencari penjelasan serupa dalam Bahasa Indonesia agar saya lebih yakin. Tidak hanya itu, ketika saya sudah sangat lelah membaca di ujung malam, saya akhirnya mencari kuliah online yang terkait dengan mata kuliah saya di YouTube. Sangat sering saya bukannya menonton, tetapi hanya mendengar suaranya karena mata saya sudah sangat lelah. Kesemuanya ini tentu saja tidak bakalan bisa dilakukan dalam sekejab. Butuh waktu. Oleh karena itu sistem kebut semalam hanyalah mitos yang berbahaya di sini.

Pada titik inilah saya menyadari, bahwa sangat wajar dan sangat realistis ketika kampus menetapkan syarat nilai IELTS tertentu untuk bisa diterima. Ternyata pemirsa… readingIELTS itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan reading JournalListening apalagi. Bagi mereka yang pernah berkuliah di UK, pasti ngerti maksud saya. Well, di Indonesia umumnya guru Bahasa Inggris saya menggunakan aksen Amerika. Film-film yang saya tonton kebanyakan juga film Amerika. Kalaupun ada film British yang saya tonton, artikulasi mereka agak beda dengan kenyataan yang saya hadapi di sini. Di dalam film, artikulasi mereka somehow lebih mudah dimengerti (lebih selow dan lebih ear-friendlyhehehe). Seringkali saya harus bilang “Pardon, can you say it again?” untuk bisa menagkap apa yang mereka maksud. Apalagi jika lagi di luar kampus, orang-orang mulai berbicara dengan menggunakan Bahasa slank yang banyak disingkat-singkat. Pucing Hayati, Bang…. Jadi, bagi yang mau kuliah ke luar negeri,  niat belajar IELTS-nya dimodifikasi ya,,, dari yang hanya mengejar tips buat dapat score tinggi menjadi memang belajar IELTS untuk bisa survive selama kuliah.


Hubungan Dosen dan Mahasiswa

Tidak seperti kebanyakan yang terjadi di Indonesia, interaksi dosen dan mahasiswa di sini sangat cair. Kita bisa memanggil nama mereka seperti kita memanggil nama teman kita. Kita juga dapat berdiskusi dan adu argumen secara sehat dengan mereka. Oh ya, seperti halnya di Indonesia, mahasiswa juga punya seorang personal tutor (semacam penasehat akademik). Peran PT ini sangaat penting dalam perjalanan studi kita.

Sejak kedatangan saya di kampus ini, tidak jarang saya merasa sangat terpuruk terutama pada masalah akademik. Sering saya merasa sangaaat bodoh, apalagi ketika teman-teman saya yang native ngomongnya sangat lancar dan critical thinking-nya tajam sekali. Dalam beberapa titik, saya merasa itu sangat mengintimidasi. Bagaimana tidak, disaat mereka ngomong cas cis cus, saya hanya bisa diam menjadi pendengar yang baik (dan kadang tidak baik, karena saya lost di tengah-tengah). Ketika ada kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, saya malah merasa minder, karena sudah teranjur merasa inferior dengan kemampuan Bahasa inggris saya yang standar dan critical thinking saya yang belum terasah dengan baik. 

Bagaimana dosen kami selalu memantau dan membantu perkembangan essay kami    


Hal yang membuat saya terkagum-kagum sekaligus juga frustrasi adalah dedikasi dosen dalam mengajar. Mereka benar-benar membuat waktu untuk selalu berinteraksi dan mengontrol progress mahasiswa dalam mengerjakan essay. Hampir seminggu sekali masing-masing dosen akan mengirim e-mail untuk menanyakan kabar, bagaimana kemajuan essay kami, sampai tawaran tutorial kalau mengalami kesulitan. Harusnya ini bisa sangat membantu mahasiswa, kan? Memang. Lantas mengapa saya bilang saya frustrasi? Karena bagi pribadi yang kadang suka menunda-nunda seperti saya, email-email ini serupa hantu yang mengintai dalam kegelapan. Tidak ada ruang bagi saya untuk melenakan diri dengan bermalas-malasan seperti dulu ketika saya jadi mahasiswa di dua jenjang sebelumnya. Last-minute-panic mood tidak berlaku di sini. Menunda berarti bunuh diri. Serius. 

Saat ini, saya masih dalam tahap berjuang untuk keras terhadap diri saya sendiri untuk menajdi lebih disiplin dan sesungguhnya ini tidak mudah dan butuh energi serta kemamuan super kuat untuk mengubahnya. So, bagi kamu-kamu yang mau melanjutkan sekolah ke luar negeri, saran saya sikap disiplin ini sudah dilatih sejak sebelum tiba di sini. Dosen-dosen di sini sangat ramah dan helpful tetapi juga tegas. Mereka mengharapkan mahasiswa yang bertanggung jawab dengan kuliahnya dan sikap cuek dan suka menunda itu adalah indikasi yang buruk bagi kesuksesan perkuliahan mahasiswa.


Di balik foto jalan-jalan di sosmed.


Nampang di the Tower Bridge, London


Nah, ini yang paling ingin saya klarifikasi kepada teman-teman yang belum memulai kuliah di luar negeri. Seringkali ketika teman kita yang berkuliah di LN meng-upload foto-foto super ketjeh mereka dengan latar salju, bangunan klasik yang spektakuler, atau landmarklainnya yang selama ini hanya bisa kita saksikan di tivi maupun internet, komen yang sangat sering muncul adalah dari yang baik seperti:

wuiiih..keren ya..”, 

“duuh envynya…” 

“mau ta juga gang…” 

“Aaak, kamu memang juaraa..”

sampe yang agak-agak nyinyir seperti 

“kok jalan mulu sih, gak kuliah?” 

“enak ya,, habisin duit negera”, 

“jangan riya deh.. pikirin dong perasaan orang lain yang ga bisa kayak kamu..”.  

“Ciee.. rajin belajar ciee.. pencitraan niyee…”

At Durdle Door, the Jurassic Beach

Kalau tolak ukurnya hanya dari foto-foto yang terpampang di Instagram atau Facebook, maka wajar tanggapan-tanggapan tersebut keluar. Yang tidak diketahui adalah di balik itu semua sesungguhnya ada malam-malam panjang begadang di perpus, ada depresi ketika bahkan setelah membaca berulang-ulang pun masih belum bisa mengerti itu isinya apa, ada saat-saat penuh amarah ketika nilai yang keluar tidak seperti yang diharapkan, dan ada perihnya menahan rindu kepada orang-orang tercinta di tanah air. Belum lagi, bagi beberapa teman penerima beasiswa ada yang harus struggle berhemat sedemikian rupa karena keterlambatan pencairan living allowance.

Percayalah, ada alasan mengapa itu semua sangat jarang diexpose di medsos. Pertama, kami tidak ingin menciutkan mimpi teman-teman lain yang juga ingin berkuliah di luar negeri. Kedua, kami ingin mengabarkan kepada sanak keluarga dan mereka yang mencintai kami di kampung halaman sana bahwa kami baik-baik saja meskipun sedang berada dalam tekanan yang tidak mudah. Ketiga, kami ingin mempercayai bahwa kami memang baik-baik saja, insyaallah. Bagi saya pribadi, setiap komen yang mendukung adalah sumber kekuatan saya untuk terus semangat menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Dan yang terakhir, sebagai dosen, saya ingin menginspirasi mahasiswa saya. Saya percaya bahwa action speaks louder than words. Memposting foto-foto saya ke sosmed adalah cara saya membayar utang inspirasi bagi mereka.

Jadi, teman-teman sekalian, sebelum memberikan komen yang tidak mengenakkan hati, ada baiknya disadari bahwa tidak semua yang kita lihat itu seperti adanya. Ada harga yang harus dibayar teman-teman yang sedang kuliah di luar negeri demi bisa sampai pada tahap ini. Tidak perlu nyinyir dan iri (dalam artian negatif) karena kamu hanya tidak tahu saja apa yang dia telah korbankan untuk bisa seperti sekarang. Yang sebaiknya kamu lalukan adalah mendoakan mereka agar bisa “pulang hidup-hidup” dan mengabdi pada Ibu Pertiwi dan juga mulai percaya pada kemampuan kalian sendiri. Kalau kami bisa sampai di sini, maka kalian juga bisa. 

Demikianlah yang ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca semua. Intinya adalah kuliah di luar negeri itu tidak gampang, tetapi juga tidak semenakutkan yang kita bayangkan. Banyak hal-hal baik yang bisa diambil dan memperkaya pengalaman kita, pun tidak sedikit yang benar-benar membawa kita pada titik terendah dalam hidup. Persiapkan diri sebaik mungkin, sesiap mungkin, dan sepantas mungkin. Salam sukses! Mari sama-sama berjuang! See you on top, Saudaraku. 

From Bristol with love,

Ririn 

Sunday 1 April 2018

Castle Combe, Sebuah Desa Cantik di UK, dan Perjalanan Penuh Drama

Assalamualaikum. wr. wb.

Tyo: "Teeeh, anak-anak mau pada maen nih, mo ikutan gak?"
Me: "Eeeh, kapan? Mp pada kemana emang?"
Tyo: "Ini Teh mau ke sini, cantik ya?" (sodorin hape, liatin IG tentang Castle Combe.
Me: "Iya, ih cantik banget. Kapan mo ke sananya? Duuuh essay gw apa kabaar?"
Tyo: "Weekend ini mau gak, Teeh?" (kedap-kedip)
Me: "Duh, Yo.. masih ngessay gw, skip dulu ya... hiks..hiks.."

Begitulah. Jadi, minggu lalu, Tyo ngajakin ke Castle Combe, yang dari penampakan postingan orang-orang di IG, cantiik banget. Mengingat masih ada essay dan the deadline is approaching, aku dengan tegar memutuskan untuk tidak ikutan dulu di acara jalan-jalan kali ini. Itu keputusan seminggu lalu, ya pemirsa. Namun, emang dasarnya aku murahan banget kalo judulnya udah jalan-jalan, maka hanya perlu dua kali bujukan lagi dari Tyo, trus aku dengan tak tahu dirinya mengangguk dan bilang iya, hahahaha. Essay? %$£@*&^!!!

Dan akhirnya Sabtu kemarin, rombongan kami yang terdiri dari tujuh orang (Aku, Tyo, Kak Yana, Dyana, Mbak Rista, Bani dan Alberth) janjian ketemu di Bristol Coach Station jam 9 teng dan memulai perjalanan ke Castle Combenya dari sana. Untuk ke tempat tujuan, rute yang harus bisa ditempuh dari Bristol adalah sebagai berikut:

Rute Normal:

  1. Beli tiket West of England All Day for student seharga £4.90 melalui aplikasi, kalau langsung di busnya, harganya £5.30. Kalau naik train bisa lebih cepat. Harganya return sekitar £8. Tapii namanya juga mahasiswa, yaa.. nyarinya yang murah, demi suksesnya program "Menuju Ririn tajir 2020," hehehehe. Karena lokasi Castle Combe ini di luar Bristol, tapi masih dalam kawasan West England, maka kami membeli tiket West of England All Day for student.
  2. Bristol Coach Station -  Bath Bus Centre (Naik Firts Bus X39, sekitaran sejam)  
  3. Bath - Cipenham (Naik First Bus X31, sekitaran sejam juga), tidak perlu bayar tiket lagi, karena udah beli tiket all day ticket, dan busnya pun masih sama, yaitu First Bus.
  4. Cipenham - Castle Combe (Naik Bus Faresaver nomor 35, waktu tempuh sekitaran setengah jam). Bayarnya £2.20 untuk student.
Jumlah biaya kurang lebih: £4.90 + £2.20 X 2 (karena return kan ya) = £9.70. Ini untuk rute normal kalo pas weekdays dan bukan lagi pas public holiday. Kemaren kami perginya pas weekend dan kebetulan pas long holiday karena easter. Kami tidak mempertimbangkan itu, kami tidak tahu kalau pada hari Sabtu dan pada public holiday, Firts Bus X31 dari Bath menuju Cipenham tidak beroperasi. Kalau mau tetep ke sana, kami harus naik Bus Faresaver nomor X31, dan karena bukan Firts Bus, tiket all day kami tidak berlaku dan akhirnya harus bayar lagi seharga £2.70 untuk student.

Ketika sampai di Bath, kami sebenarnya sudah melihat ada bus Faresaver X31 itu, tapi karena masih mengira First Bus X31 tetap beroperasi di hari Sabtu, kami pun menunggu dengan cantiknya. Tapi, setelah menunggu beberapa lama, kami pun bertanya-tanya, ini kok busnya kagak datang-datang. Kami akhirnya melihat papan pengumunan, dan menemukan bahwa hari Sabtu dan public holiday tuh, si Bus yang kami nanti-nanti kagak beroperasi. Deuhhh. Mana busnya datang setengah jam sekali pulak. karena tak mau menunggu, kami pun mencari rute lain dengan menggunakan bus lain. kata Om Google, kami bisa naik bus lain (maap aku lupa namanya apa kemaren). Kebetulan bus itu berhentinya bukan di Bath Bus Center tapi di bus stop lain yang jauhnya sekitar sepuluh menit jalan kaki. Kami pun kesana, melawan dingin yang entah kenapa kian menjadi dengan anginnya yang menggigit, hanya untuk mendapatkan fakta pahit kalaaaaau sekali lagi karena ini Sabtu dan liburan, maka bus tersebut tak ada, Huaaaaaaa. Moral of the story: perhitungkan masa ketika waktu mau jenjalan, weekdays/weekend, libur/kagak libur.

Lalu, kami pun memutuskan untuk balik secepatnya ke Bus center itu dengan harapan masih bisa memburu Bus Faresaver X31 itu. Dan, seakan drama tak mau berhenti disini, paas kami sampai, bus X31nya udah mau bertolak pergi dooong 😢😭😭😭. Di sini tuh bus gak kayak di Indo, yang walaupun udah mau pergi, kalau masih ada penumpang mau naik trus kebuka lagi pintunya. Di sini, kalau pintu bus udah tutup artinya you have to wait for another bus, which would come 30 minutes later. Dua kali, Saudara-Saudari!!! Dua kali ditinggal busX31 ini! Bahu, mana bahu?? Mayan kesel sih, tapi kami tidak lantas hilang harapan, dan sekali lagi mencari alternatif lain, yakni naik Uber (Horang kayaaaah 💅). Kami pun mulanya memesan Uber XL, tapiii dasar apeess, maximal passengersnya kan harus enam orang, sementara kami kan bertujuh (pijat pelipis). Jadi, mau tak mau, kami akhirnya meutuskan naik 2 taxi saja. Maka, beginilah rute kami:

  1. Bristol - Bath (naik First Bus nomor X39).   
  2. Bath - Castle Combe (naik taxi). Harga normal per taxi sebenarnya sekitar £53. Tapi, karena driver kami ramaah dan baik banget, trus selama dalam perjalanan kami mengobrol banyak dengan beliau (sebenarnya, lebih kepada mendengarkan si Bapak curcol, hahaha), pas argo nyampe di angka £35, beliau memutuskan menyetop argonya. Jadilah, kami hanya membayar £35 aja. Hal ini tidak terjadi pada rombongan taxi sebelah, dimana si driver tetap pake argo normal, jadinya mereka harus membayar £53. Lesson learnt: Beramah-tamah itu penting, kengkawan, hehehehe. 
  3. Castle Combe - Cipenham (Faresaver 35) Harganya £2.20 untuk student.
  4. Cipenham - Bath (Faresaver X31) Harganya £2.70 untuk student.
  5. Bath - Bristol (Firtsbus X39). Tidak perlu bayar lagi, cukup pakai tiket sebelumnya, kan all day ticket.
Banyak yang lucu nih dari perjalanan penuh drama kemaren, hehehehe. Selain acara ditinggal bus sampai dua kali, dan akhirnya harus naik taxi dengan harga yang mehong, kami juga ribet karena terbatas bawa cash, hahahaha. Jadi, kan rencanya kami emang mau ambil day ticket, dan untuk bekal juga udah bawa dari rumah, dan biasanya juga acara bayar-membayar biasanya bisa pake kartu debet ato apple pay, jadi kami bawa cash buat jaga-jaga doang. Nah, kemaren itu, kehebohan terjadi pada saat akan membayar taxi. Karena kami hanya membawa cash seadanya, kami sampai kebingungan gimana cara bayarnya. Kalau pake Uber kan enak, karena langsung kepotong di debet. Lha ini kan taxi conventional. Ditengah kebingungan kami, Alberth berusaha mencari ATM, tapiiiiiiii dasar emang apess, ga ada ATM doong di mari. Duuuh, ini Enggres emang negara maju, yes, tapi tetep ajah  kalo di desa, ga ada juga itu yang namanya ATM. Akhirnya, kami merogoh sisi terdalam dari dompet dan kantung-kantung dalam tas masing-masing. Alhamdulillah, meski banyakan pake receh, biaya taxi tertutupi juga, fiuuuh.

Kelar urusan hitung-hitung receh, kami pun mulai mengeksplor Castle Combe ini. Kesan pertama kami adalah desa ini cantiiik sekali. Bangunan-bangunan abad pertengahan yang masih terawat dengan baik memanjakan mata kami. kemaren cuacanya agak mendung dan basah sehabis hujan, tapi itu tidak mengurangi kecantikan desa ini. Ketika menyusuri jalan-jalannya, imajinasiku terbang menuju abad-abad yang telah lalu. Aku membayangkan di jalan tempat aku berada saat ini, orang-orang jaman dahulu juga berjalan dengan memakai pakaian ala-ala kerajaan yang cantik lengkap dengan topi berhias bulu angsanya. Aku juga membayangkan derap kaki kuda pada kereta kencana, yang mengantarkan pada bangsawan Inggris ke mana-mana. Ada jendela-jendela kaca di loteng rumah, yang dibaliknya para gadis-gadis cekikikan memandangi pujaan hatinya. Dan dari cerobong-cerobong di atap rumah itu, aroma daging dan keju akan menggodai indra penciuman, memanggil-manggil untuk pulang dan menikmati santapan bersama keluarga. Lonceng gereja akan ramai pada hari minggu, dan kita mungkin dapat melihat anak-anak didampingi orang tuanya berlarian untuk beribadah. Aaah, romantis sekali.





pemandangan dari atas

Desa ini disebut-sebut sebagai salah satu desa tercantik di Inggris. Oleh karena kecantikannya, desa ini kemudian menjadi inspirasi para seniman kelas dunia dalam menelurkan karya. Contohnya saja, tempat ini pernah menjadi salah satu lokasi syuting film 'Dr. Dolitle', 'The Murder of Roger Ackyord', 'Stardust', 'The Wolfman' dan sebuah film karya Steven Spielberg yang berjudul 'War Horse' (sumber: di sini). Tidak heran sih, soalnya aku aja yang sekarang sedang hectic ngessay, dibuat tak bisa tenang belajar sebelum membuat tulisan mengenai desa ini, apalagi para seniman-seniman itu, ya, hehehe.


Selain bangunan-bangunan tua, pengunjung bisa menikmati hijaunya hutan cemara dan peternakan. Ada sungai yang membelah desa ini. Sepanjang jalan telinga kita akan dimanjakan dengan bunyi gemericik air dan nyanyian burung-burung di tepi hutan. Ada juga peternakan lamb yang bisa dikunjungi. Jika ingin hiking-hiking kecil, pengunjung bisa mencoba untuk mengambil foot path diujung desa. Dari puncak, sekilas kita akan bisa melihat desa di bawah sana, yang jadi semakin cantik saja dilihat dari atas. Oh iya, karena kemaren kami tidak menyangka tempat ini ada area trackingnya juga, kami tidak memakai sepatu yang cukup pantas dong. Mana habis hujan pula, jalanan di atas menjadi becek dan licin. Si Alberth malah sampai dua kali terpeleset, hehehe. So, untuk selanjutnya, hal-hal yang seperti ini memang harus sangaaat diperhatikan. Kami bersenang-senang selama hampir tiga jam lebih. Usai makan dan foto-foto grup, kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang.

Tadam, tadam, tadam. Drama belum usai pemirsa. Masih ingat kan kami tidak punya cash dan tak ada ATM sama sekali di desa ini? nah, kami akhirnya kebingungan lagi gimana cara pulangnya. Tadi, si bapak supir taxi udah memberikan kartu namanya kepada kami, kalau-kalau kami ingin pulang naik taxi lagi. Tapiiii,,, taxi kan mwahaaal ya, dan apalah kami yang mahasiswa ini dengan cita-cita ingin kaya diakhir masa study. Kita pun memutuskan mau pulang naik bus saja, sambil berdoa, semoga busnya bisa bayar pake debet card. Cilaka dua belas, busnya gak bisa bayar pake debet card! Harus Cash! Matee kitaaa. Satu-satu penumpang naik busa, dan kami masih mencoba mengais-ngais sisa receh yang kami punya. Setelah kurleb hampir sepuluh menit mencari dan menghitung, ternyata duit kami bisanya hanya untuk lima orang. Si Alberth dan Tyo mengalah untuk kami. "udah ga apa-apa, duluan aja, nanti kita cari akal lagi gimana-gimananya" kata Alberth. Eeeeh, kami gak tega doong, akhirnya kami saling dorong rebutan siapa yang mau ngalah. In the mean time, penumpang di bus udah menunjukkan wajah-wajah keganggu oleh tingkah kami, duh. Akhirnya, karena sang supir juga udah bete, kami akhirnya terpaksa naik. Setengah mau menangis, kami menatap wajah dua teman kami itu. Hiks..hikss..

Namun, the miracle does exist dan itu terjadi dimenit-menit terakhir, pemirsa. Begitu pintu bus udah mau ketutup, seorang nenek berdiri dan menuju pintu, "Hold on! you two hop in. I'll pay for you" kata beliau sambil menyodorkan uang ke bapak supir. Alhamdulillah.... kami tak henti mengucapkan terimakasih kepada si nenek, yang dijawab beliau dengan "No worries, Dear, I am happy I could help. Next time, don't forget to always bring cash. I might not be there if something like this happens again" katanya sambil mengedipkan mata, hahaha. Duuh malu campur syukur juga sih. Ah, perjalanan kemaren itu seruuu. Karena dramanya itu lah malah jadi berkesan, hehehhe.

Nah, demikianlah cerita jenjalan saya Sabtu kemaren. Semoga bermanfaat and I do hope you like it.   Sampai jumpa di petualangan selanjutnya. Oh iya, here are pics from yesterday. Enjoy!

(Ps. Foto-foto ini masih mentah banget, belum sempat diedit, jadi maklum kalau tidak terlalu cetar. Essayku menunggu soalnya :P)






Tyo dan, upss.. ada Kak Yana juga, hehehe



Dibalik foto yang kece ada teman yang ngenes - 1 (hahahaha)

dibalik foto yang kece, ada temen yang ngenes - 2, hahaha



Bany and Alberth

Tyo




Ah, jualannya cakes, padahal yang kebayang tahu isi... *menurut nganaaa???


Light at the end of the tunnel

Assalamualaikum.wr.wb. 20 Juni 2018, sebuah email yang membawa kabar gembira akhirnya menyapa hari-hariku yang penuh dengan drama kehidupa...