Wednesday 4 April 2018

Oh Inikah Rasanya? Expectation VS Reality Check


Hallo! Tulisan ini adalah salah satu artikel di dalam buku yang kami (putra-putri daerah Sulawesi-Tenggara yang menerima beasiswa berkuliah di luar negeri) terbitkan dan luncurkan pada tanggal 31 April 2018.  Judulnya 'Wa Ina O' Ama, We Are Abroad'. Semoga bisa bermanfaat. Dulu, ini hanya draft yang saya tulis pada masa 5 bulan saya menginjakkan kaki  di negaranya Harry Potter ini. Saya tidak mempostingnya di blog karena bukunya belum terbit, hehehe. Nah berikut adalah pengalaman saya yang lima bulan itu. Kalau sekarang mah, saya sudah satu setengah tahun nih di sini. pengalamannya udah banyak, ceritanya juga sudah bertambah pula.

ini penampakan bukunya. Aku belumpegang sama sekali.
Foto ini kiriman dari Indah, teman saya 😀

Tapi, yang saya posting kali ini adalah apa yang saya alami selama 5 bulan itu. Dari yang menyenangkan sampai yang kurang menyenangkan. Yeah seperti semua hal di dunia ini, semuanya datang sepaket, berpasang-pasangan, ada harapan ada kenyataan, ada senang ada sedih. Tidak ada hanya sedih saja atau senang saja. Tidak ada!

Kenapa Luar Negeri??

Baiklah, kita mulai dari ekspektasi saya sebelum sampai di sini. Seperti kebanyakan pemimpi lainnya, saya selalu bercita-cita untuk bisa tinggal di luar negeri. Kenapa? Karena dalam perspektif saya kala itu, luar negeri itu selalu lebih hebat dari Indonesia hampir dalam segala hal. Luar negeri serupa simbol kemakmuran, kecanggihan, kehebatan, dan kemajuan. Maka tak heran segala hal yang berbau luar negeri selalu memesonaku. Apalagi dulu ketika masih kuliah di jenjang strata satu, saya bertemu dengan dosen yang sangat menginspirasi saya, Ibu Sartiah Yusran, yang merupakan lulusan perguruan tinggi di luar negeri. Saya melihatnya sebagai sosok yang sangat enerjik, berani dan cerdas. Pada detik beliau berbicara di depan kelas, saya berjanji ingin menjadi seperti beliau. Langkah awal yang bisa saya tempuh untuk menjadi seperti beliau adalah dengan menjadi dosen, dan kemudian kuliah di luar negeri. Alhamdulillah keduanya sudah saya capai saat ini. Tetapi apakah ketika telah sampai di sini lantas saya sudah keren? Saya sudah sukses? BIG NO!

Ternyata, ada beberapa hal yang tidak sama dengan ekspektasi awal saya dan membuat saya agak kaget. Meskipun sudah mempelajari tentang cross culture understanding, sudah ikut pre-departure briefing juga, kenyataannya, banyak hal dalam hidup ini yang baru dapat kita mengerti ketika kita mengalami sendiri. Berikut adalah pengalaman saya yang mungkin bisa saya bagikan. 

Expectation VS Reality

Sistem Pendidikan.

Harus saya akui, begitu saya “mengiyakan” offer yang diberikan universitas untuk melanjutkan study di University of Bristol, saya langsung dibuat terkagum-kagum oleh sistem pendidikan di kampus ini. Pertama, sedari awal, bahkan ketika saya masih di Indonesia, informasi mengenai silabus mata kuliah yang akan kami ampuh sudah disediakan di blackboard kami masing-masing berisi detail nama perkuliahan, tujuan dan outcome yang hendak dicapai, rules, bahan bacaan yang puanjaaang, PPT yang akan ditampilkan dosen, assessment criteria, bahkan contoh assignment yang mendapat nilai A pada semester lalu. Hal ini belum pernah saya dapatkan selama pengalaman saya menjadi mahasiswa baik pada jenjang S1 dan S2. Semuanya sangat detail dan mudah dipahami. 

Perangkat pembelajaran yang sangat detail sejak awal    


Dengan kelengkapan pembelajaran seperti ini, kami diharapkan sudah “siap tempur” ketika datang ke ke kelas. Maksud dari siap tempur disini adalah, ketika masuk kelas, setidaknya kepala kita tidak kosong. Kita sudah harus tau apa yang akan dibahas, kita harus sudah punya kritik terhadap teori-teori dan hasil penelitian terkait mata kuliah yang kita ambil sehingga kelas menjadi hidup oleh diskusi ilmiah, adu argumentasi yang cantik dan elegan. Ini yang, menurutku, agak horor karena selama ini sudah terbiasa menelan mentah-mentah semua yang tersaji dalam buku maupun artikel jurnal. Apalagi jika melihat penulisnya yang kebanyakan sudah meraih gelar Doktor, huft. Tetapi, jika kita bisa lebih teliti, memang pasti ada celahnya kok bacaan itu, dan kita bebas mengritiknya. Dalam mengkritik bacaan itu, hampir selalu para mahasiswa saling beda pendapat. Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa di sini. Selama kita bisa menjelaskan dasar dari pendapat kita dengan teori yang relevan, semua bisa menerima dengan baik. Tentu saja, untuk bisa mewujudkan atmosfir kelas yang ketjeh itu kita harus sudah siap dong. Sudah harus banyak baca dari at leastsebulan sebelumnya. Karena kalau tidak, percayalah kita hanya akan melongo dan mengutuk diri sendiri kenapaaa tidak baca sejak awal. 

Perpustakaan yang sangat cozy dan nyaman    


 Pada masa awal, bahkan sampai sekarang pun saya masih kesulitan dengan kebiasaan baca reading list sebelum masuk kelas ini. Apalagi, kecenderungan untuk menggampangkan sesuatu seperti kebiasaan saya di Indonesia masih sering terbawa. Di sini, saya menyadari bahwa tidak baca berarti suicide. Kelas yang relatif kecil dan sistem perkuliahan yang menerapkan diskusi aktif tidak memungkinkan kita untuk menyepelekan reading list. Tidak ada ceritanya baca sekenannya tapi tetap bisa dapat A dengan gampangnya seperti pengalaman saya dulu. No Way! Well, here I did read my reading list but there are some terms that I am not familiar with. Jadi, untuk benar-benar mengerti, saya butuh membaca jurnal tersebut berkali-kali, untuk dapat mengerti. Saya juga bahkan seringkali mencoba mencari penjelasan serupa dalam Bahasa Indonesia agar saya lebih yakin. Tidak hanya itu, ketika saya sudah sangat lelah membaca di ujung malam, saya akhirnya mencari kuliah online yang terkait dengan mata kuliah saya di YouTube. Sangat sering saya bukannya menonton, tetapi hanya mendengar suaranya karena mata saya sudah sangat lelah. Kesemuanya ini tentu saja tidak bakalan bisa dilakukan dalam sekejab. Butuh waktu. Oleh karena itu sistem kebut semalam hanyalah mitos yang berbahaya di sini.

Pada titik inilah saya menyadari, bahwa sangat wajar dan sangat realistis ketika kampus menetapkan syarat nilai IELTS tertentu untuk bisa diterima. Ternyata pemirsa… readingIELTS itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan reading JournalListening apalagi. Bagi mereka yang pernah berkuliah di UK, pasti ngerti maksud saya. Well, di Indonesia umumnya guru Bahasa Inggris saya menggunakan aksen Amerika. Film-film yang saya tonton kebanyakan juga film Amerika. Kalaupun ada film British yang saya tonton, artikulasi mereka agak beda dengan kenyataan yang saya hadapi di sini. Di dalam film, artikulasi mereka somehow lebih mudah dimengerti (lebih selow dan lebih ear-friendlyhehehe). Seringkali saya harus bilang “Pardon, can you say it again?” untuk bisa menagkap apa yang mereka maksud. Apalagi jika lagi di luar kampus, orang-orang mulai berbicara dengan menggunakan Bahasa slank yang banyak disingkat-singkat. Pucing Hayati, Bang…. Jadi, bagi yang mau kuliah ke luar negeri,  niat belajar IELTS-nya dimodifikasi ya,,, dari yang hanya mengejar tips buat dapat score tinggi menjadi memang belajar IELTS untuk bisa survive selama kuliah.


Hubungan Dosen dan Mahasiswa

Tidak seperti kebanyakan yang terjadi di Indonesia, interaksi dosen dan mahasiswa di sini sangat cair. Kita bisa memanggil nama mereka seperti kita memanggil nama teman kita. Kita juga dapat berdiskusi dan adu argumen secara sehat dengan mereka. Oh ya, seperti halnya di Indonesia, mahasiswa juga punya seorang personal tutor (semacam penasehat akademik). Peran PT ini sangaat penting dalam perjalanan studi kita.

Sejak kedatangan saya di kampus ini, tidak jarang saya merasa sangat terpuruk terutama pada masalah akademik. Sering saya merasa sangaaat bodoh, apalagi ketika teman-teman saya yang native ngomongnya sangat lancar dan critical thinking-nya tajam sekali. Dalam beberapa titik, saya merasa itu sangat mengintimidasi. Bagaimana tidak, disaat mereka ngomong cas cis cus, saya hanya bisa diam menjadi pendengar yang baik (dan kadang tidak baik, karena saya lost di tengah-tengah). Ketika ada kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, saya malah merasa minder, karena sudah teranjur merasa inferior dengan kemampuan Bahasa inggris saya yang standar dan critical thinking saya yang belum terasah dengan baik. 

Bagaimana dosen kami selalu memantau dan membantu perkembangan essay kami    


Hal yang membuat saya terkagum-kagum sekaligus juga frustrasi adalah dedikasi dosen dalam mengajar. Mereka benar-benar membuat waktu untuk selalu berinteraksi dan mengontrol progress mahasiswa dalam mengerjakan essay. Hampir seminggu sekali masing-masing dosen akan mengirim e-mail untuk menanyakan kabar, bagaimana kemajuan essay kami, sampai tawaran tutorial kalau mengalami kesulitan. Harusnya ini bisa sangat membantu mahasiswa, kan? Memang. Lantas mengapa saya bilang saya frustrasi? Karena bagi pribadi yang kadang suka menunda-nunda seperti saya, email-email ini serupa hantu yang mengintai dalam kegelapan. Tidak ada ruang bagi saya untuk melenakan diri dengan bermalas-malasan seperti dulu ketika saya jadi mahasiswa di dua jenjang sebelumnya. Last-minute-panic mood tidak berlaku di sini. Menunda berarti bunuh diri. Serius. 

Saat ini, saya masih dalam tahap berjuang untuk keras terhadap diri saya sendiri untuk menajdi lebih disiplin dan sesungguhnya ini tidak mudah dan butuh energi serta kemamuan super kuat untuk mengubahnya. So, bagi kamu-kamu yang mau melanjutkan sekolah ke luar negeri, saran saya sikap disiplin ini sudah dilatih sejak sebelum tiba di sini. Dosen-dosen di sini sangat ramah dan helpful tetapi juga tegas. Mereka mengharapkan mahasiswa yang bertanggung jawab dengan kuliahnya dan sikap cuek dan suka menunda itu adalah indikasi yang buruk bagi kesuksesan perkuliahan mahasiswa.


Di balik foto jalan-jalan di sosmed.


Nampang di the Tower Bridge, London


Nah, ini yang paling ingin saya klarifikasi kepada teman-teman yang belum memulai kuliah di luar negeri. Seringkali ketika teman kita yang berkuliah di LN meng-upload foto-foto super ketjeh mereka dengan latar salju, bangunan klasik yang spektakuler, atau landmarklainnya yang selama ini hanya bisa kita saksikan di tivi maupun internet, komen yang sangat sering muncul adalah dari yang baik seperti:

wuiiih..keren ya..”, 

“duuh envynya…” 

“mau ta juga gang…” 

“Aaak, kamu memang juaraa..”

sampe yang agak-agak nyinyir seperti 

“kok jalan mulu sih, gak kuliah?” 

“enak ya,, habisin duit negera”, 

“jangan riya deh.. pikirin dong perasaan orang lain yang ga bisa kayak kamu..”.  

“Ciee.. rajin belajar ciee.. pencitraan niyee…”

At Durdle Door, the Jurassic Beach

Kalau tolak ukurnya hanya dari foto-foto yang terpampang di Instagram atau Facebook, maka wajar tanggapan-tanggapan tersebut keluar. Yang tidak diketahui adalah di balik itu semua sesungguhnya ada malam-malam panjang begadang di perpus, ada depresi ketika bahkan setelah membaca berulang-ulang pun masih belum bisa mengerti itu isinya apa, ada saat-saat penuh amarah ketika nilai yang keluar tidak seperti yang diharapkan, dan ada perihnya menahan rindu kepada orang-orang tercinta di tanah air. Belum lagi, bagi beberapa teman penerima beasiswa ada yang harus struggle berhemat sedemikian rupa karena keterlambatan pencairan living allowance.

Percayalah, ada alasan mengapa itu semua sangat jarang diexpose di medsos. Pertama, kami tidak ingin menciutkan mimpi teman-teman lain yang juga ingin berkuliah di luar negeri. Kedua, kami ingin mengabarkan kepada sanak keluarga dan mereka yang mencintai kami di kampung halaman sana bahwa kami baik-baik saja meskipun sedang berada dalam tekanan yang tidak mudah. Ketiga, kami ingin mempercayai bahwa kami memang baik-baik saja, insyaallah. Bagi saya pribadi, setiap komen yang mendukung adalah sumber kekuatan saya untuk terus semangat menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Dan yang terakhir, sebagai dosen, saya ingin menginspirasi mahasiswa saya. Saya percaya bahwa action speaks louder than words. Memposting foto-foto saya ke sosmed adalah cara saya membayar utang inspirasi bagi mereka.

Jadi, teman-teman sekalian, sebelum memberikan komen yang tidak mengenakkan hati, ada baiknya disadari bahwa tidak semua yang kita lihat itu seperti adanya. Ada harga yang harus dibayar teman-teman yang sedang kuliah di luar negeri demi bisa sampai pada tahap ini. Tidak perlu nyinyir dan iri (dalam artian negatif) karena kamu hanya tidak tahu saja apa yang dia telah korbankan untuk bisa seperti sekarang. Yang sebaiknya kamu lalukan adalah mendoakan mereka agar bisa “pulang hidup-hidup” dan mengabdi pada Ibu Pertiwi dan juga mulai percaya pada kemampuan kalian sendiri. Kalau kami bisa sampai di sini, maka kalian juga bisa. 

Demikianlah yang ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca semua. Intinya adalah kuliah di luar negeri itu tidak gampang, tetapi juga tidak semenakutkan yang kita bayangkan. Banyak hal-hal baik yang bisa diambil dan memperkaya pengalaman kita, pun tidak sedikit yang benar-benar membawa kita pada titik terendah dalam hidup. Persiapkan diri sebaik mungkin, sesiap mungkin, dan sepantas mungkin. Salam sukses! Mari sama-sama berjuang! See you on top, Saudaraku. 

From Bristol with love,

Ririn 

No comments:

Post a Comment

Light at the end of the tunnel

Assalamualaikum.wr.wb. 20 Juni 2018, sebuah email yang membawa kabar gembira akhirnya menyapa hari-hariku yang penuh dengan drama kehidupa...