Wednesday, 4 July 2018

Light at the end of the tunnel

Assalamualaikum.wr.wb.

20 Juni 2018, sebuah email yang membawa kabar gembira akhirnya menyapa hari-hariku yang penuh dengan drama kehidupan akademik selama hampir enam bulan ini. Isi email ini merupakan jawaban yang manis dari sebuah harapan yang tidak pernah putus kepadamu, wahai Penguasa semesta. Alhamdulillah.



Tak tergambarkan betapa leganya hati saya ketika menerima email ini. And, look that emoticon!! I cannot belive it is given by the same person who told me that I was too ambitious in coming to this university 2 months ago. Oh my God. Semoga pengalaman manis kemaren bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku. Bahwa, jangan pernah berhenti percaya, jangan pernah berhenti berusaha, Allah selalu bersama hambanya.

Untuk teman-teman yang mungkin masih berjuang dengan pengalaman yang sama, setulusnya kudoakan semoga Allah menguatkan hatimu dalam sabar dan takwa. Semoga tidak lama lagi, you will see the light at the end of the tunnel. 

Saturday, 12 May 2018

Your failures do not define you.

Assalamualaikum.wr.wb.





Sudah Spring di Bristol. Tanah menjadi berwarna. Tulip, Sakura dan teman-temannya, meski terlambat karena adanya badai salju beberapa bulan yang lalu, mendandani sudut-sudut kota. Keindahan yang harus disyukuri karena usianya cuma sebentar saja. Dari kaca jendela sebuah study center di kampus, kupandangi langit Inggris yang lumayan cerah. Di sisi lain, kursi-kursi perpustakaan telah terisi penuh. Kampus sedang hiruk pikuk. Ini sudah masuk saat-saat exam. Kalau tidak datang pagi-pagi sekali, aku akan sangat kesulitan mendapatkan tempat. Pada saat-saat seperti ini, pemandangan mahasiswa yang menginap di kampus lengkap dengan segala peralatan tempurnya (bekal makan dan minum, alat mandi, dll) adalah wajar adanya. Aku juga salah satu dari mahasiswa itu.




Sudah setengah lima sore. Kurasakan pegal pada bahu dan leherku. Maka, sejenak aku berhenti dan berpaling menikmati pemandangan di luar jendela, sambil beberapa kali menghela nafas yang kian terasa berat. kalau bisa, aku ingin rehat sejenak. Sebentar saja, tidak lama. Lalu, aku teringat pada tema menulis di grup Be Molulo, yang pada kesempatan kali ini, akulah yang bertanggungjawab untuk menentukan topiknya. Topiknya adalah tentang kegagalan dan dan bagaimana bangkit dari situasi itu.

Aku memutuskan memilih tema ini bukan tanpa alasan. Alhamdulillah, bulan lalu, aku diuji dengan kegagalan yang cukup membuatku down dan frustrasi. Bahkan sampai saat ini, aku masih belum pulih dari rasa galau yang terus membayangi. Perasaan cemas, takut, panik, malu, dan merasa tak berharga campur aduk jadi satu. Sungguh itu bukan hal yang menyenangkan. Sama sekali bukan. Masa-masa ini adalah betul-betul titik terbawah dalam hidupku. Tak tau harus berbuat apa. Perasaan sepi dan sendiri menyergap dari berbagai arah. Lalu, pada suatu hari yang masih terasa berat, aku memutuskan untuk mencari bantuan. Karena rasa malu yang tak tertahankan jika menceritakan masalah ini kepada orang lain, maka aku meraih laptop dan mulai googling dengan Bahasa Indonesia mengenai kisah tentang kegagalan yang hampir sama dengan yang kualami dan bagaimana mereka menghadapinya. Namun, sayang sekali, pencarianku berbuah nihil. Akhirnya, aku pun googling dengan menggunakan Bahasa Inggris dan kujumpai banyak kisah yang serupa dengan kisahku. Cara mereka bangkit dari kegagalan sedikit banyak memberi harapan pada hatiku, yang sedikit lagi terjebak pada jurang putus asa.

Dalam pencarianku ini aku menjadi sadar, dalam budaya kita, menceritakan kegagalan masih dianggap hal yang tabu dan memalukan. Orang yang sedang mengalami kegagalan seringkali dilabeli dengan stugma negatif. Dianggap kurang mampu, kurang pintar, kurang cantik, kurang berharga, dan segala 'kurang-kurang' lainnya. Akibatnya, banyak orang yang malu untuk berbagi tentang kegagalan, yang menghalanginya untuk mendapatkan bantuan yang layak, atau mencegahnya untuk membagikan inspirasi kepada beberapa orang yang senasib dengannya bahwa mereka tidak sendiri. Maka, melalui tulisan ini, aku ingin merubah paradigma itu. Aku ingin berbagi kisahku, agar menjadi penguat bagi kalian, teman-temanku, yang mungkin juga sedang mengalami hal yang sama. Lebih dari pada itu, aku ingin tulisan ini bisa menjadi semacam "self healing" untuk diriku agar lebih cepat memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan keadaan lalu bangkit melanjutkan perjuangan. Baiklah, siapkan cemilan dan kopimu kawan, ceritaku kali ini lumayan panjang...

Januari 2018

Aku saat itu sedang berada di Indonesia, sedang menikmati suatu sore yang menyenagkan bersama beberapa sahabat di sebuah kafe, ketika sebuahnotifikasi email masuk dari kampus masuk di HPku. DEG! Itu adalah email dari dosenku, yang menyatakan bahwa nilai untuk unit (sebut saja namanya unit A) yang kuambil di summer term lalu telah keluar dan aku mendapatkan nilai D. Artinya aku gagal. Email itu tidak hanya sekedar mengabarkan nilai, tetapi juga disertai dengan peringatan keras bahwa aku sudah tidak boleh gagal di unit berikutnya. Jika tidak, maka aku tidak diperkenankan melanjutkan ke proses selanjutnya (penulisan disertasi) berdasarkan aturan yang berlaku di kampus.

Dhuarr,,, kepalaku seakan meledak, dan selanjutnya adalah sunyi. Tidak kudengarkan lagi hiruk-pikuk, gelak tawa, dan bincang hangat teman-temanku. Aku seperti tersedot ke dalam tanah. Yang ada hanyalah gelap dan asing. kakiku seolah tak memijak tanah. Kau boleh anggap ini lebay, tapi itulah yang aku rasakan. Entah berapa lama yang aku butuhkan untuk bisa mengumpulkan nyawa dan keberanian untuk pamit ijin pulang duluan kepada teman-teman. Waktu itu aku beralasan ada panggilan darurat dari rumah. Teman-teman sempat heran, tapi pada akhirnya mengijinkan aku untuk pulang lebih dulu.

Di rumah, aku masuk kamar dan kehampaan itu menyerangku sekali lagi. Aku tak bisa berfikir. Selang beberapa detik, berbagai ketakutan datang menghantam satu persatu. Pada sat itu, aku juga sedang mengerjakan unit yang lain (Unit B), yang aku anggap paling susah diantara unit yang pernah aku ambil sebelumnya. Bagaimana kalau yang ini juga gagal? Aku berarti harus pulang. Apa yang akan kukatakan pada pihak sponsor? Bagaimana aku akan menghadapi rasa malu? Bagaimana aku akan menghadapi cibiran orang-orang? Bagaimana aku akan menjelaskan kepada orang tua? Bagaimana aku bisa memandang diri sendiri? Lalu, muncul perasaan rendah diri dan tak berharga. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia.

Beberapa hari berselang, aku masih diliputi kegalauan yang seakan tak berujung. Akhirnya aku memutuskan menceritakan ini kepada keluarga. Aku kira mereka akan panik dan sedih. Di luar dugaan mereka sangat supportive. Mereka memberi suntikan semangat dan mendorongku untuk semakin mendekatkan diri dengan tuhan. "Istigfar, dan percaya sama Allah, Nak. Ilmu itu Dia yang punya, mintalah padaNya, insyaAllah Dia kasih. Dia sendiri yang menjanjikan bahwa barang siapa yang meminta kepadaNya maka pasti akan dia kabulkan. Dan janjiNya benar." kata mama ketika aku meratapi kebodohanku. Kata-kata itu beliau ucapkan dengan lirih tapi efeknya luar biasa menenangkan. Aku tersadar dan kembali memiliki harapan. Walaupun kadang perasaan rendah diri itu tidak bisa pergi begitu saja, aku tetap berusaha mengerjakan unit B karena deadlinenya semakin dekat. Kegagalan unit A aku coba singkirkan sebisanya agar bisa fokus pada unit B. Namun, efek stress itu benar-benar sangat mengganggu. Aku sulit berkonsentrasi. Bacaan tak satupun bisa masuk. Akhirnya, aku mengerjakan unit B seadanya saja. Batas waktu untuk memasukkan draft sudah lewat. Aku akhirnya takut untuk meminta feedback dari dosen. Tapi, menjelang batas pengumpulan final, aku akhirnya memberanikan diri meminta kebijaksanaan dosen untuk memberikan perpanjangan waktu dan meminta kesediaan beliau untuk melihat draft essayku. Karena mempertimbangkan masalah yang aku hadapi, beliau setuju untuk melihat draftku.

Beberapa hari kemudian, beliau mengirimkan draft ku kembali dan beliau menilai bahwa dengan kualitas tulisan seperti ini, besar kemungkinan aku akan gagal lagi. DHUAAAARR!!! Sekali lagi duniaku menjadi gelap. Aku betul-betul dilanda frustrasi dan rasa rendah diri yang teramat sangat. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Memang, ini belum final dan masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Tapi, tenagaku sudah terkuras habis. Perasaan menjadi orang paling bodoh kembali menyerangku tanpa ampun. Meski dukunagn keluarga begitu besar, aku mulai mempercayai bahwa aku memang bodoh dan tak pantas berkuliah di kampusku yang sekarang. Keadaan diperparah dengan dengan pujian yang sering diberikan oleh teman-teman kepadaku karena bisa berkuliah di luar negeri. Oh sungguh mereka hanya tak tahu keadaan yang sebenarnya sebenarnya. Dan itu membuatku bertambah depresi.

Beberapa kali terbersit pilihan untuk menyerah dan melupakan saja semuanya. Tapi, sampai dititik ini, Allah selalu menolongku. Dia mengirimkan orang-orangnya untuk membantu dan menyemangatiku. Perlahan, aku bangkit dan mencoba memperbaiki unit B ini. Aku sadar bahwa dengan keadaan mental seperti yang kualami waktu itu, aku tak bisa menyelesaikannya sendiri. Aku lalu meminta bantuan senior yang kuanggap mumpuni. Alhamdulillah, ditengah kesibukannya beliau bersedia untuk membantuku. Beliau juga terus menerus menyemangati dan meyakinkan aku untuk terus berusaha sampai akhir. Akhirnya, dengan bantuan beliau, dipenghujung masal liburanku di Indonesia, setelah kurang lebih dua bulan berjibaku mengerjakan tulisan ini, tugas ini aku kumpulkan juga. Aku merasa positif dengan kualitas tulisanku yang baru ini. Dengan memupuk harapan, aku packing untuk kembali melanjutkan perjuangan di tanah rantau.

Maret 2018 sampai saat ini.

Aku menginjakkan kaki lagi di Inggris. Tidak seperti dulu, kali ini tidak ada perasaan excited yang memenuhi hatiku. Nilai untuk unit B bisa dipastikan akan lama keluar, mengingat saat ini para dosen se UK sedang strike, sebagai bentuk protes atas pemotongan dana pensiun mereka. Setibanya di rumah, aku langsung tancap gas mengerjakan perbaikan unit A. Aku tidak memberi ruang bagi jetlag untuk menunda-nunda mengerjakan essay ku. Aku menghabiskan waktu dari pagi sampai larut di perpustakaan. Terkadang, karena merasa frustrasi karena merasa tugas ini begitu susah, aku menangis sejadi-jadinya di sudut kampus yang sunyi. Perasaan 'merasa bodoh' itu kembali menguasai. Aku lalu mempertanyakan kemampuanku sendiri. Beberapa hari aku hanya bisa menatap laptop dengan hasil yang nihil. Aku tak bisa menulis, kehabisan ide dan terpuruk. Aku mulai merasa tidak sehat. Aku mudah sekali merasa lelah, kesulitan tidur (kalaupun bisa tertidur, aku selalui dihantui mimpi buruk), merasa cemas yang tak wajar, dan gampang tersulut emosi. lalu, aku sadar kalau aku butuh bantuan.

Aku lalu mencari tahu tentang bantuan penanganan wellbeing dan mental illness yang disediakan oleh kampus. Jujur, awalnya aku merasa sangat malu dan berat hati. Tapi aku sadar, aku tak bisa begini terus. Curhat ke teman memang membantu, tetapi mereka juga punya beban yang sama beratnya. Aku merasa tak enak sekaligus malu kalau harus cerita kepada mereka. Singkat cerita, akupun ke student counselling. Alhamdulillah, mereka sangat empatik dan profesional. kepada mereka, aku menceritakan semua masalahku, dan bagaimana itu menghalangiku berkonsentrasi menyelesaikan tugasku. Aku lalu menjalani sesi konseling dan pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Aku didiagnosis mengalami depresi. Berbicara dengan konseling sedikit banyak membantuku merasa tenang. Sembari berusaha lebih mendekatkan diri dengan Allah, aku menguatkan diri mengerjakan kembali tugasku. Aku mendengarkan ceramah dan mengerjakan amalan-amalan yang kiranya bisa membujuk Allah untuk memberiku jalan keluar.

Beberapa waktu kemudian, aku mengirim draft perbaikan kepada dosenku. Semua usaha telah aku lakukan. Meminta bantuan dan masukan kepada teman yang kuanggap lebih cerdas, membaca banyaaak literatur, perbaikan di sana-sini, merevisi kembali. Semua sudah kulakukan. Sekarang saatnya tawakkal.Alhamdulillah, selang beberapa hari kemudian, sang dosen mengirim feedback kemnali dan menyatakan bahwa untuk tulisanku kali ini, aku sudah berada di right track, dan hanya ada sedikit perbaikan.

Aku tak berhenti mengucap syukur kepada Allah. selama masa-masa berat ini, aku rasakan kasih sayangNya begitu besar kepadaku. Dibalik ujian dan cobaan ini, aku banyak sekali belajar dan bermuhasabah. Banyak hikmah yang bisa kupetik dari kejadian ini. Diantaranya, aku menjadi benar-benar menyadari, bahwa manusia itu sangat kecil dan tidak ada apa-apanya jika bukan karena bantuan dan kasih sayang Allah. Aku merasa, kegagalan yang aku hadapi ini adalah bentuk kasih sayang Allah yang tidak mau mebiarkan aku larut dalam rasa sombong dan berbangga diri. Aku mengakui, beberapa kali perasaan riya menyelimuti hatiku karena telah berhasil kuliah di luar negeri. Disadari atau tidak, postingan-postinganku di instagram adalah wujud kesombongan diri. Ada perasaan ingin dipuji dan keliatan bagus dimata orang lain. Dan setelah mengetahui dosa riya itu, aku menjadi takut. Untung Allah menyelamatkanku. Hal lain yang kusadari adalah, ilmu akan susah masuk jika masih terdapat banyak dosa pada diriku. Dengan adanya kejadian ini, aku menjadi lebih banyak berkaca dan merenungi diri. Sungguh, aku benar-benar bukan siapa-siapa tanpa ridho dan pertolongan Allah. Maka, dengan mengucapkan bismillah, aku mendeaktivasi akun instagramku, yang kuanggap sarana 'pamer' bagi diriku.

Ketika mengatakan ini, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa yang menggunakan instagram adalah orang-orang yang berniat pamer.  Bukan. Bukan itu maksudku. Sedikitpun tak terbersit pemikiran seperti itu. Aku sunguh tidak bisa mengetahui dan tidak boleh menjudge orang-orang hanya karena aku sendiri merasa begitu. Tidak. Tidak sama sekali. Hanya saja, aku merasa, aku perlu membersihkan diriku dari hal-hal yang bisa menghalangi ilmu masuk. Sejujurnya, secara akademis, aku masih sangat lemah dan masih harus banyak belajar. Oleh karena ittu, aku mencoba cara lain. Aku percaya, ilmu itu asalnya dari Allah, bukan dari otak. Oleh karena itu, aku sedang berusaha memaksimalkan diri dengan membujuk Allah agar selalu memberi pertolongannya dan ilmunya kepadaku, aamiin.

Aku juga saat ini sedang berusaha mendefiniskan ulang makna keberhasilan dan kebahagiaan. Setelah berikhtiar sebisanya, aku serahkan semua kepada Allah. Aku meyakini bahwa Allah mendengar dan mengabulkan semua doa. Tetapi aku juga menyadari bahwa tidak selamanya Allah menjawab doa kita sesuai dengan keinginan kita. Bisa jadi Allah akan mengabulkan bisa jadi tidak, tetapi aku yakin Dia akan mengganti dengan yang lebih baik. Bisa jadi kita menyukai sesuatu padahal itu tidak baik untuk kita, dan bisa jadi kita membenci sesuatu padahal itu baik untuk kita. Allah mengetahui semua yang gaib sementara kita tidak. Pasrah dan percaya padaNya bahwa ketetapanNya lah yang terbaik.
Saat ini, nasib tentang bagaimana kelanjutan studiku masih belum jelas. Apakah bisa lanjut atau tidak. Aku hanya percaya, apapun itu, itulah yang terbaik.

Satu hal yang ingin aku tekankan dengan bercerita seperti ini bahwa teman-teman sekalian, tidak apa berteman dengan kegagalan. Dari sesi konsultasi dengan psikiater aku menyadari bahwa kegagalanku ini tidak lantas menjadikan aku manusia gagal. Kegagalam pada satu mata kuliah tidak lantas menjadikan kita sebagai manusia bodoh. Kegagalan pada satu matakuliah tidak bisa menggambarkan hasil belajar yang kita telah peroleh selama hidup ini. Maka, usahakanlah berhenti menyalahkan dirimu dan mulailah berdamai dengan keadaan. Sadarilah, bahwa kegagalan itu bagian dari hidup dan wajar jikau kau merasa sedih. Terimalah kenyataan bahwa dirimu tak selalu kuat dan meminta pertolongan bukanlah hal yang memalukan. Curhat ke teman yang bisa kau percaya dan psikiater akan sangat membantu proses pemulihan dan kebangkitanmu. Jangan lupa berserah pada yang maha kuasa. Percayalah, Allah selalu bersama kita. Ujian datang bukan untuk menghukum kita. Dia datang menawarkan dua hal: pembersihan dosa atau kesempatan meningkatkan keimanan kita di mata Allah. Yakinlah, setelah kesulitan ada kemudahan. Itu janjiNya, dan janjiNya benar. Bangkit dan senyumlah. Tetap menjadi orang baik, tetap berusaha memperbaiki diri. Selalu ada lembar baru dalam hidup ini. Your failures do not define you.


Ps: Kalau berkenan, aku minta doanya ya, teman-teman 😇

Wednesday, 2 May 2018

Merayakan Hari Kartini, Merayakan Menjadi Perempuan yang Utuh

Assalamualaikum.wr.wb.

Pertama, saya mau minta maaf karena baru bisa menulis tema yang harusnya diposting bulan lalu pada hari ini, yang sudah memasuki Mei. Belakangan, saya alhamdulillah diberi ujian yang membuat saya belum bisa menulis berdasarkan tema sesuai waktunya. Tapi, dengan niat baik dan prinsip "lebih baik telat dari pada tidak sama sekali", maka saya pun akhirnya menulis. Tema kali ini di triger oleh Jeung Rumi, yang memilih tema tentang Kartini. Mungkin karena biasanya April selalu diasosiasikan dengan sosok Kartini kali ya, hehehhe. Baiklah, agar tidak berlama-lama, mari kita langsung saja 😀

Penjelasan mengenai siapa itu sosok Ibu Kartini tampaknya sudah sangat banyak tersedia di mana-mana, baik dalam bentuk buku, artikel, dan bahkan jurnal. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini saya tidak ingin menambahkan informasi yang jelas-jelas sudah banyak bertebaran. Sebagai seorang perempuan Indonesia, saya jeals-jelas mengagumi pemikiran dan keberanian beliau dalam memperjuangkan hak-hak perempuan untuk bisa diakui dan dihargai sebagaimana mestinya, yang pada jaman dahulu kala (bahkan mungkin sampai saat ini) belum bisa terealisasi. Contohnya, hak berbicara dan berpendapat, hak menjadi dirinya sendiri, hak mengatur tubuhnya sendiri, serta hak untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya tanpa takut dengan judgement orang lain.



Meskipun menurut saya pribadi, emansipasi perempuan di Indonesia sudah sangat diakui, - terbukti dari tidak adanya larangan perempuan untuk bersekolah dan bekerja, namun tentu saja kita setuju bahwa kemerdekaan seorang perempuan tidak terbatas dari bekerja dan bersekolah. Banyak hal diluar itu. Menurut saya pribadi, emansipasi wanita adalah perayaan tentang kebebasan menjadi manusia yang utuh dengan segala kompleksitasnya (pikiran, perasaan, keinginan, dll) yang bebas dari penilaian orang dan prejudice dari orang lain. Selama dia tidak merugikan orang lain dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya, menurutku semua perempuan berhak bebas menentukan bagaimana dia menjalani kehidupannya. Toh, setidaknya menurut agama yang saya anut,  Tuhan tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal siapa yang paling mulia, melainkan yang paling tinggi dan indah ahlaknya. Bahkan, perempuan sendiri menempati posisi mulia di dalam kitab suci.

Salah satu manifestasi kebebasan perempuan yang ingin saya angkat kali ini adalah kebebasan untuk melamar lelaki yang dinginkannya sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang diajarkan oleh agama. Ingat, patokannya adalah tuntunan agama loh ya, bukan budaya. Karena, bagi saya, dasar hukum tertinggi yang harus dijadikan pedoman bagi orang beriman adalah agama. Di Indonesia, pada umumnya, untuk urusan jodoh dan pernikahan, ada 'doktrin budaya' yang tidak tertulis dan sudah mendarah daging, yang menganggap bahwa laki-lakilah yang harus agresif, sedangkan perempuan disarankan untuk diam manis menunggu di rumah. Sampai saat ini doktrin budaya ini masih sangat kuat. Sehingga, jika ada perempuan yang 'menyatakan cinta'  atau bahkan yang melamar laki-laki lebih dahulu akan dilabeli dengan 'perempuan tidak benar.' Padahal, dalam hal rasa suka, perempuan dan laki-laki harusnya sama. Laki-laki dianugerahi rasa cinta, perempuan juga. jadi mengapa harus dibedakan? Sangat tidak adil bukan? Inilah salah satu contoh bahwa 'doktin budaya' yang notabene bentukan manusia itu tidak sempurna, dan saatnya kembali kepada tuntunan agama.

Dalam agama saya, dikisahkan bahwa beberapa perempuan hebat dan mulia, yang telah dijamin syurga oleh Allah, menawarkan dirinya untuk dinikahi oleh laki-laki. Ketika mereka melakukan itu, tidak ada label buruk dan negatif yang disematkan kepada mereka. mereka tidak dianggap perempuan 'ganjen' atau 'genit'. Sebaliknya, mereka adalah perempuan terpilih yang sangat mulia. Kita tentu sudah tidak asing dengan kisah Sitti Khadijah yang melamar Baginda Nabi Muhammad SAW bukan? Atau beberapa kisah perempuan mulia lainnya yang secara sadar dan merdeka menawarkan dirinya dinikahi oleh laki-laki yang dianggapnya shaleh? Pada poin ini, saya sangat bersyukur dan bangga bahwa agama saya telah sangat memuliakan wanita sejak dahulu kala, jauuuh sebelum desas desus emansipasi wanita dihembuskan.

Oh iya, merayakan hari Kartini berarti merayakan kebebasan menjadi perempuan yang utuh, yang tidak malu mengeluarkan pendapat, menunjukkan keinginannya, melakukan apa yang dirasanya baik tanpa takut akan intimidasi dan anggapan buruk orang lain yang punya persepsi yang berbeda-beda dalam mendefinisikan wanita yang baik itu yang bagaimana. Dan sebagai muslimah, merayakan hari Kartini adalah merayakan kebebasan sebagai perempuan yang menmepati posisi mulia dalam agama. Termasuk salah satunya, kebebasan untuk melamar laki-laki sholeh yang diinginkannya. Dan saya baru saja melakukan hal itu beberapa hari yang lalu. Doakan yang terbaik yaaaa... ^^




Wednesday, 4 April 2018

Oh Inikah Rasanya? Expectation VS Reality Check


Hallo! Tulisan ini adalah salah satu artikel di dalam buku yang kami (putra-putri daerah Sulawesi-Tenggara yang menerima beasiswa berkuliah di luar negeri) terbitkan dan luncurkan pada tanggal 31 April 2018.  Judulnya 'Wa Ina O' Ama, We Are Abroad'. Semoga bisa bermanfaat. Dulu, ini hanya draft yang saya tulis pada masa 5 bulan saya menginjakkan kaki  di negaranya Harry Potter ini. Saya tidak mempostingnya di blog karena bukunya belum terbit, hehehe. Nah berikut adalah pengalaman saya yang lima bulan itu. Kalau sekarang mah, saya sudah satu setengah tahun nih di sini. pengalamannya udah banyak, ceritanya juga sudah bertambah pula.

ini penampakan bukunya. Aku belumpegang sama sekali.
Foto ini kiriman dari Indah, teman saya 😀

Tapi, yang saya posting kali ini adalah apa yang saya alami selama 5 bulan itu. Dari yang menyenangkan sampai yang kurang menyenangkan. Yeah seperti semua hal di dunia ini, semuanya datang sepaket, berpasang-pasangan, ada harapan ada kenyataan, ada senang ada sedih. Tidak ada hanya sedih saja atau senang saja. Tidak ada!

Kenapa Luar Negeri??

Baiklah, kita mulai dari ekspektasi saya sebelum sampai di sini. Seperti kebanyakan pemimpi lainnya, saya selalu bercita-cita untuk bisa tinggal di luar negeri. Kenapa? Karena dalam perspektif saya kala itu, luar negeri itu selalu lebih hebat dari Indonesia hampir dalam segala hal. Luar negeri serupa simbol kemakmuran, kecanggihan, kehebatan, dan kemajuan. Maka tak heran segala hal yang berbau luar negeri selalu memesonaku. Apalagi dulu ketika masih kuliah di jenjang strata satu, saya bertemu dengan dosen yang sangat menginspirasi saya, Ibu Sartiah Yusran, yang merupakan lulusan perguruan tinggi di luar negeri. Saya melihatnya sebagai sosok yang sangat enerjik, berani dan cerdas. Pada detik beliau berbicara di depan kelas, saya berjanji ingin menjadi seperti beliau. Langkah awal yang bisa saya tempuh untuk menjadi seperti beliau adalah dengan menjadi dosen, dan kemudian kuliah di luar negeri. Alhamdulillah keduanya sudah saya capai saat ini. Tetapi apakah ketika telah sampai di sini lantas saya sudah keren? Saya sudah sukses? BIG NO!

Ternyata, ada beberapa hal yang tidak sama dengan ekspektasi awal saya dan membuat saya agak kaget. Meskipun sudah mempelajari tentang cross culture understanding, sudah ikut pre-departure briefing juga, kenyataannya, banyak hal dalam hidup ini yang baru dapat kita mengerti ketika kita mengalami sendiri. Berikut adalah pengalaman saya yang mungkin bisa saya bagikan. 

Expectation VS Reality

Sistem Pendidikan.

Harus saya akui, begitu saya “mengiyakan” offer yang diberikan universitas untuk melanjutkan study di University of Bristol, saya langsung dibuat terkagum-kagum oleh sistem pendidikan di kampus ini. Pertama, sedari awal, bahkan ketika saya masih di Indonesia, informasi mengenai silabus mata kuliah yang akan kami ampuh sudah disediakan di blackboard kami masing-masing berisi detail nama perkuliahan, tujuan dan outcome yang hendak dicapai, rules, bahan bacaan yang puanjaaang, PPT yang akan ditampilkan dosen, assessment criteria, bahkan contoh assignment yang mendapat nilai A pada semester lalu. Hal ini belum pernah saya dapatkan selama pengalaman saya menjadi mahasiswa baik pada jenjang S1 dan S2. Semuanya sangat detail dan mudah dipahami. 

Perangkat pembelajaran yang sangat detail sejak awal    


Dengan kelengkapan pembelajaran seperti ini, kami diharapkan sudah “siap tempur” ketika datang ke ke kelas. Maksud dari siap tempur disini adalah, ketika masuk kelas, setidaknya kepala kita tidak kosong. Kita sudah harus tau apa yang akan dibahas, kita harus sudah punya kritik terhadap teori-teori dan hasil penelitian terkait mata kuliah yang kita ambil sehingga kelas menjadi hidup oleh diskusi ilmiah, adu argumentasi yang cantik dan elegan. Ini yang, menurutku, agak horor karena selama ini sudah terbiasa menelan mentah-mentah semua yang tersaji dalam buku maupun artikel jurnal. Apalagi jika melihat penulisnya yang kebanyakan sudah meraih gelar Doktor, huft. Tetapi, jika kita bisa lebih teliti, memang pasti ada celahnya kok bacaan itu, dan kita bebas mengritiknya. Dalam mengkritik bacaan itu, hampir selalu para mahasiswa saling beda pendapat. Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa di sini. Selama kita bisa menjelaskan dasar dari pendapat kita dengan teori yang relevan, semua bisa menerima dengan baik. Tentu saja, untuk bisa mewujudkan atmosfir kelas yang ketjeh itu kita harus sudah siap dong. Sudah harus banyak baca dari at leastsebulan sebelumnya. Karena kalau tidak, percayalah kita hanya akan melongo dan mengutuk diri sendiri kenapaaa tidak baca sejak awal. 

Perpustakaan yang sangat cozy dan nyaman    


 Pada masa awal, bahkan sampai sekarang pun saya masih kesulitan dengan kebiasaan baca reading list sebelum masuk kelas ini. Apalagi, kecenderungan untuk menggampangkan sesuatu seperti kebiasaan saya di Indonesia masih sering terbawa. Di sini, saya menyadari bahwa tidak baca berarti suicide. Kelas yang relatif kecil dan sistem perkuliahan yang menerapkan diskusi aktif tidak memungkinkan kita untuk menyepelekan reading list. Tidak ada ceritanya baca sekenannya tapi tetap bisa dapat A dengan gampangnya seperti pengalaman saya dulu. No Way! Well, here I did read my reading list but there are some terms that I am not familiar with. Jadi, untuk benar-benar mengerti, saya butuh membaca jurnal tersebut berkali-kali, untuk dapat mengerti. Saya juga bahkan seringkali mencoba mencari penjelasan serupa dalam Bahasa Indonesia agar saya lebih yakin. Tidak hanya itu, ketika saya sudah sangat lelah membaca di ujung malam, saya akhirnya mencari kuliah online yang terkait dengan mata kuliah saya di YouTube. Sangat sering saya bukannya menonton, tetapi hanya mendengar suaranya karena mata saya sudah sangat lelah. Kesemuanya ini tentu saja tidak bakalan bisa dilakukan dalam sekejab. Butuh waktu. Oleh karena itu sistem kebut semalam hanyalah mitos yang berbahaya di sini.

Pada titik inilah saya menyadari, bahwa sangat wajar dan sangat realistis ketika kampus menetapkan syarat nilai IELTS tertentu untuk bisa diterima. Ternyata pemirsa… readingIELTS itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan reading JournalListening apalagi. Bagi mereka yang pernah berkuliah di UK, pasti ngerti maksud saya. Well, di Indonesia umumnya guru Bahasa Inggris saya menggunakan aksen Amerika. Film-film yang saya tonton kebanyakan juga film Amerika. Kalaupun ada film British yang saya tonton, artikulasi mereka agak beda dengan kenyataan yang saya hadapi di sini. Di dalam film, artikulasi mereka somehow lebih mudah dimengerti (lebih selow dan lebih ear-friendlyhehehe). Seringkali saya harus bilang “Pardon, can you say it again?” untuk bisa menagkap apa yang mereka maksud. Apalagi jika lagi di luar kampus, orang-orang mulai berbicara dengan menggunakan Bahasa slank yang banyak disingkat-singkat. Pucing Hayati, Bang…. Jadi, bagi yang mau kuliah ke luar negeri,  niat belajar IELTS-nya dimodifikasi ya,,, dari yang hanya mengejar tips buat dapat score tinggi menjadi memang belajar IELTS untuk bisa survive selama kuliah.


Hubungan Dosen dan Mahasiswa

Tidak seperti kebanyakan yang terjadi di Indonesia, interaksi dosen dan mahasiswa di sini sangat cair. Kita bisa memanggil nama mereka seperti kita memanggil nama teman kita. Kita juga dapat berdiskusi dan adu argumen secara sehat dengan mereka. Oh ya, seperti halnya di Indonesia, mahasiswa juga punya seorang personal tutor (semacam penasehat akademik). Peran PT ini sangaat penting dalam perjalanan studi kita.

Sejak kedatangan saya di kampus ini, tidak jarang saya merasa sangat terpuruk terutama pada masalah akademik. Sering saya merasa sangaaat bodoh, apalagi ketika teman-teman saya yang native ngomongnya sangat lancar dan critical thinking-nya tajam sekali. Dalam beberapa titik, saya merasa itu sangat mengintimidasi. Bagaimana tidak, disaat mereka ngomong cas cis cus, saya hanya bisa diam menjadi pendengar yang baik (dan kadang tidak baik, karena saya lost di tengah-tengah). Ketika ada kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, saya malah merasa minder, karena sudah teranjur merasa inferior dengan kemampuan Bahasa inggris saya yang standar dan critical thinking saya yang belum terasah dengan baik. 

Bagaimana dosen kami selalu memantau dan membantu perkembangan essay kami    


Hal yang membuat saya terkagum-kagum sekaligus juga frustrasi adalah dedikasi dosen dalam mengajar. Mereka benar-benar membuat waktu untuk selalu berinteraksi dan mengontrol progress mahasiswa dalam mengerjakan essay. Hampir seminggu sekali masing-masing dosen akan mengirim e-mail untuk menanyakan kabar, bagaimana kemajuan essay kami, sampai tawaran tutorial kalau mengalami kesulitan. Harusnya ini bisa sangat membantu mahasiswa, kan? Memang. Lantas mengapa saya bilang saya frustrasi? Karena bagi pribadi yang kadang suka menunda-nunda seperti saya, email-email ini serupa hantu yang mengintai dalam kegelapan. Tidak ada ruang bagi saya untuk melenakan diri dengan bermalas-malasan seperti dulu ketika saya jadi mahasiswa di dua jenjang sebelumnya. Last-minute-panic mood tidak berlaku di sini. Menunda berarti bunuh diri. Serius. 

Saat ini, saya masih dalam tahap berjuang untuk keras terhadap diri saya sendiri untuk menajdi lebih disiplin dan sesungguhnya ini tidak mudah dan butuh energi serta kemamuan super kuat untuk mengubahnya. So, bagi kamu-kamu yang mau melanjutkan sekolah ke luar negeri, saran saya sikap disiplin ini sudah dilatih sejak sebelum tiba di sini. Dosen-dosen di sini sangat ramah dan helpful tetapi juga tegas. Mereka mengharapkan mahasiswa yang bertanggung jawab dengan kuliahnya dan sikap cuek dan suka menunda itu adalah indikasi yang buruk bagi kesuksesan perkuliahan mahasiswa.


Di balik foto jalan-jalan di sosmed.


Nampang di the Tower Bridge, London


Nah, ini yang paling ingin saya klarifikasi kepada teman-teman yang belum memulai kuliah di luar negeri. Seringkali ketika teman kita yang berkuliah di LN meng-upload foto-foto super ketjeh mereka dengan latar salju, bangunan klasik yang spektakuler, atau landmarklainnya yang selama ini hanya bisa kita saksikan di tivi maupun internet, komen yang sangat sering muncul adalah dari yang baik seperti:

wuiiih..keren ya..”, 

“duuh envynya…” 

“mau ta juga gang…” 

“Aaak, kamu memang juaraa..”

sampe yang agak-agak nyinyir seperti 

“kok jalan mulu sih, gak kuliah?” 

“enak ya,, habisin duit negera”, 

“jangan riya deh.. pikirin dong perasaan orang lain yang ga bisa kayak kamu..”.  

“Ciee.. rajin belajar ciee.. pencitraan niyee…”

At Durdle Door, the Jurassic Beach

Kalau tolak ukurnya hanya dari foto-foto yang terpampang di Instagram atau Facebook, maka wajar tanggapan-tanggapan tersebut keluar. Yang tidak diketahui adalah di balik itu semua sesungguhnya ada malam-malam panjang begadang di perpus, ada depresi ketika bahkan setelah membaca berulang-ulang pun masih belum bisa mengerti itu isinya apa, ada saat-saat penuh amarah ketika nilai yang keluar tidak seperti yang diharapkan, dan ada perihnya menahan rindu kepada orang-orang tercinta di tanah air. Belum lagi, bagi beberapa teman penerima beasiswa ada yang harus struggle berhemat sedemikian rupa karena keterlambatan pencairan living allowance.

Percayalah, ada alasan mengapa itu semua sangat jarang diexpose di medsos. Pertama, kami tidak ingin menciutkan mimpi teman-teman lain yang juga ingin berkuliah di luar negeri. Kedua, kami ingin mengabarkan kepada sanak keluarga dan mereka yang mencintai kami di kampung halaman sana bahwa kami baik-baik saja meskipun sedang berada dalam tekanan yang tidak mudah. Ketiga, kami ingin mempercayai bahwa kami memang baik-baik saja, insyaallah. Bagi saya pribadi, setiap komen yang mendukung adalah sumber kekuatan saya untuk terus semangat menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Dan yang terakhir, sebagai dosen, saya ingin menginspirasi mahasiswa saya. Saya percaya bahwa action speaks louder than words. Memposting foto-foto saya ke sosmed adalah cara saya membayar utang inspirasi bagi mereka.

Jadi, teman-teman sekalian, sebelum memberikan komen yang tidak mengenakkan hati, ada baiknya disadari bahwa tidak semua yang kita lihat itu seperti adanya. Ada harga yang harus dibayar teman-teman yang sedang kuliah di luar negeri demi bisa sampai pada tahap ini. Tidak perlu nyinyir dan iri (dalam artian negatif) karena kamu hanya tidak tahu saja apa yang dia telah korbankan untuk bisa seperti sekarang. Yang sebaiknya kamu lalukan adalah mendoakan mereka agar bisa “pulang hidup-hidup” dan mengabdi pada Ibu Pertiwi dan juga mulai percaya pada kemampuan kalian sendiri. Kalau kami bisa sampai di sini, maka kalian juga bisa. 

Demikianlah yang ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca semua. Intinya adalah kuliah di luar negeri itu tidak gampang, tetapi juga tidak semenakutkan yang kita bayangkan. Banyak hal-hal baik yang bisa diambil dan memperkaya pengalaman kita, pun tidak sedikit yang benar-benar membawa kita pada titik terendah dalam hidup. Persiapkan diri sebaik mungkin, sesiap mungkin, dan sepantas mungkin. Salam sukses! Mari sama-sama berjuang! See you on top, Saudaraku. 

From Bristol with love,

Ririn 

Sunday, 1 April 2018

Castle Combe, Sebuah Desa Cantik di UK, dan Perjalanan Penuh Drama

Assalamualaikum. wr. wb.

Tyo: "Teeeh, anak-anak mau pada maen nih, mo ikutan gak?"
Me: "Eeeh, kapan? Mp pada kemana emang?"
Tyo: "Ini Teh mau ke sini, cantik ya?" (sodorin hape, liatin IG tentang Castle Combe.
Me: "Iya, ih cantik banget. Kapan mo ke sananya? Duuuh essay gw apa kabaar?"
Tyo: "Weekend ini mau gak, Teeh?" (kedap-kedip)
Me: "Duh, Yo.. masih ngessay gw, skip dulu ya... hiks..hiks.."

Begitulah. Jadi, minggu lalu, Tyo ngajakin ke Castle Combe, yang dari penampakan postingan orang-orang di IG, cantiik banget. Mengingat masih ada essay dan the deadline is approaching, aku dengan tegar memutuskan untuk tidak ikutan dulu di acara jalan-jalan kali ini. Itu keputusan seminggu lalu, ya pemirsa. Namun, emang dasarnya aku murahan banget kalo judulnya udah jalan-jalan, maka hanya perlu dua kali bujukan lagi dari Tyo, trus aku dengan tak tahu dirinya mengangguk dan bilang iya, hahahaha. Essay? %$£@*&^!!!

Dan akhirnya Sabtu kemarin, rombongan kami yang terdiri dari tujuh orang (Aku, Tyo, Kak Yana, Dyana, Mbak Rista, Bani dan Alberth) janjian ketemu di Bristol Coach Station jam 9 teng dan memulai perjalanan ke Castle Combenya dari sana. Untuk ke tempat tujuan, rute yang harus bisa ditempuh dari Bristol adalah sebagai berikut:

Rute Normal:

  1. Beli tiket West of England All Day for student seharga £4.90 melalui aplikasi, kalau langsung di busnya, harganya £5.30. Kalau naik train bisa lebih cepat. Harganya return sekitar £8. Tapii namanya juga mahasiswa, yaa.. nyarinya yang murah, demi suksesnya program "Menuju Ririn tajir 2020," hehehehe. Karena lokasi Castle Combe ini di luar Bristol, tapi masih dalam kawasan West England, maka kami membeli tiket West of England All Day for student.
  2. Bristol Coach Station -  Bath Bus Centre (Naik Firts Bus X39, sekitaran sejam)  
  3. Bath - Cipenham (Naik First Bus X31, sekitaran sejam juga), tidak perlu bayar tiket lagi, karena udah beli tiket all day ticket, dan busnya pun masih sama, yaitu First Bus.
  4. Cipenham - Castle Combe (Naik Bus Faresaver nomor 35, waktu tempuh sekitaran setengah jam). Bayarnya £2.20 untuk student.
Jumlah biaya kurang lebih: £4.90 + £2.20 X 2 (karena return kan ya) = £9.70. Ini untuk rute normal kalo pas weekdays dan bukan lagi pas public holiday. Kemaren kami perginya pas weekend dan kebetulan pas long holiday karena easter. Kami tidak mempertimbangkan itu, kami tidak tahu kalau pada hari Sabtu dan pada public holiday, Firts Bus X31 dari Bath menuju Cipenham tidak beroperasi. Kalau mau tetep ke sana, kami harus naik Bus Faresaver nomor X31, dan karena bukan Firts Bus, tiket all day kami tidak berlaku dan akhirnya harus bayar lagi seharga £2.70 untuk student.

Ketika sampai di Bath, kami sebenarnya sudah melihat ada bus Faresaver X31 itu, tapi karena masih mengira First Bus X31 tetap beroperasi di hari Sabtu, kami pun menunggu dengan cantiknya. Tapi, setelah menunggu beberapa lama, kami pun bertanya-tanya, ini kok busnya kagak datang-datang. Kami akhirnya melihat papan pengumunan, dan menemukan bahwa hari Sabtu dan public holiday tuh, si Bus yang kami nanti-nanti kagak beroperasi. Deuhhh. Mana busnya datang setengah jam sekali pulak. karena tak mau menunggu, kami pun mencari rute lain dengan menggunakan bus lain. kata Om Google, kami bisa naik bus lain (maap aku lupa namanya apa kemaren). Kebetulan bus itu berhentinya bukan di Bath Bus Center tapi di bus stop lain yang jauhnya sekitar sepuluh menit jalan kaki. Kami pun kesana, melawan dingin yang entah kenapa kian menjadi dengan anginnya yang menggigit, hanya untuk mendapatkan fakta pahit kalaaaaau sekali lagi karena ini Sabtu dan liburan, maka bus tersebut tak ada, Huaaaaaaa. Moral of the story: perhitungkan masa ketika waktu mau jenjalan, weekdays/weekend, libur/kagak libur.

Lalu, kami pun memutuskan untuk balik secepatnya ke Bus center itu dengan harapan masih bisa memburu Bus Faresaver X31 itu. Dan, seakan drama tak mau berhenti disini, paas kami sampai, bus X31nya udah mau bertolak pergi dooong 😢😭😭😭. Di sini tuh bus gak kayak di Indo, yang walaupun udah mau pergi, kalau masih ada penumpang mau naik trus kebuka lagi pintunya. Di sini, kalau pintu bus udah tutup artinya you have to wait for another bus, which would come 30 minutes later. Dua kali, Saudara-Saudari!!! Dua kali ditinggal busX31 ini! Bahu, mana bahu?? Mayan kesel sih, tapi kami tidak lantas hilang harapan, dan sekali lagi mencari alternatif lain, yakni naik Uber (Horang kayaaaah 💅). Kami pun mulanya memesan Uber XL, tapiii dasar apeess, maximal passengersnya kan harus enam orang, sementara kami kan bertujuh (pijat pelipis). Jadi, mau tak mau, kami akhirnya meutuskan naik 2 taxi saja. Maka, beginilah rute kami:

  1. Bristol - Bath (naik First Bus nomor X39).   
  2. Bath - Castle Combe (naik taxi). Harga normal per taxi sebenarnya sekitar £53. Tapi, karena driver kami ramaah dan baik banget, trus selama dalam perjalanan kami mengobrol banyak dengan beliau (sebenarnya, lebih kepada mendengarkan si Bapak curcol, hahaha), pas argo nyampe di angka £35, beliau memutuskan menyetop argonya. Jadilah, kami hanya membayar £35 aja. Hal ini tidak terjadi pada rombongan taxi sebelah, dimana si driver tetap pake argo normal, jadinya mereka harus membayar £53. Lesson learnt: Beramah-tamah itu penting, kengkawan, hehehehe. 
  3. Castle Combe - Cipenham (Faresaver 35) Harganya £2.20 untuk student.
  4. Cipenham - Bath (Faresaver X31) Harganya £2.70 untuk student.
  5. Bath - Bristol (Firtsbus X39). Tidak perlu bayar lagi, cukup pakai tiket sebelumnya, kan all day ticket.
Banyak yang lucu nih dari perjalanan penuh drama kemaren, hehehehe. Selain acara ditinggal bus sampai dua kali, dan akhirnya harus naik taxi dengan harga yang mehong, kami juga ribet karena terbatas bawa cash, hahahaha. Jadi, kan rencanya kami emang mau ambil day ticket, dan untuk bekal juga udah bawa dari rumah, dan biasanya juga acara bayar-membayar biasanya bisa pake kartu debet ato apple pay, jadi kami bawa cash buat jaga-jaga doang. Nah, kemaren itu, kehebohan terjadi pada saat akan membayar taxi. Karena kami hanya membawa cash seadanya, kami sampai kebingungan gimana cara bayarnya. Kalau pake Uber kan enak, karena langsung kepotong di debet. Lha ini kan taxi conventional. Ditengah kebingungan kami, Alberth berusaha mencari ATM, tapiiiiiiii dasar emang apess, ga ada ATM doong di mari. Duuuh, ini Enggres emang negara maju, yes, tapi tetep ajah  kalo di desa, ga ada juga itu yang namanya ATM. Akhirnya, kami merogoh sisi terdalam dari dompet dan kantung-kantung dalam tas masing-masing. Alhamdulillah, meski banyakan pake receh, biaya taxi tertutupi juga, fiuuuh.

Kelar urusan hitung-hitung receh, kami pun mulai mengeksplor Castle Combe ini. Kesan pertama kami adalah desa ini cantiiik sekali. Bangunan-bangunan abad pertengahan yang masih terawat dengan baik memanjakan mata kami. kemaren cuacanya agak mendung dan basah sehabis hujan, tapi itu tidak mengurangi kecantikan desa ini. Ketika menyusuri jalan-jalannya, imajinasiku terbang menuju abad-abad yang telah lalu. Aku membayangkan di jalan tempat aku berada saat ini, orang-orang jaman dahulu juga berjalan dengan memakai pakaian ala-ala kerajaan yang cantik lengkap dengan topi berhias bulu angsanya. Aku juga membayangkan derap kaki kuda pada kereta kencana, yang mengantarkan pada bangsawan Inggris ke mana-mana. Ada jendela-jendela kaca di loteng rumah, yang dibaliknya para gadis-gadis cekikikan memandangi pujaan hatinya. Dan dari cerobong-cerobong di atap rumah itu, aroma daging dan keju akan menggodai indra penciuman, memanggil-manggil untuk pulang dan menikmati santapan bersama keluarga. Lonceng gereja akan ramai pada hari minggu, dan kita mungkin dapat melihat anak-anak didampingi orang tuanya berlarian untuk beribadah. Aaah, romantis sekali.





pemandangan dari atas

Desa ini disebut-sebut sebagai salah satu desa tercantik di Inggris. Oleh karena kecantikannya, desa ini kemudian menjadi inspirasi para seniman kelas dunia dalam menelurkan karya. Contohnya saja, tempat ini pernah menjadi salah satu lokasi syuting film 'Dr. Dolitle', 'The Murder of Roger Ackyord', 'Stardust', 'The Wolfman' dan sebuah film karya Steven Spielberg yang berjudul 'War Horse' (sumber: di sini). Tidak heran sih, soalnya aku aja yang sekarang sedang hectic ngessay, dibuat tak bisa tenang belajar sebelum membuat tulisan mengenai desa ini, apalagi para seniman-seniman itu, ya, hehehe.


Selain bangunan-bangunan tua, pengunjung bisa menikmati hijaunya hutan cemara dan peternakan. Ada sungai yang membelah desa ini. Sepanjang jalan telinga kita akan dimanjakan dengan bunyi gemericik air dan nyanyian burung-burung di tepi hutan. Ada juga peternakan lamb yang bisa dikunjungi. Jika ingin hiking-hiking kecil, pengunjung bisa mencoba untuk mengambil foot path diujung desa. Dari puncak, sekilas kita akan bisa melihat desa di bawah sana, yang jadi semakin cantik saja dilihat dari atas. Oh iya, karena kemaren kami tidak menyangka tempat ini ada area trackingnya juga, kami tidak memakai sepatu yang cukup pantas dong. Mana habis hujan pula, jalanan di atas menjadi becek dan licin. Si Alberth malah sampai dua kali terpeleset, hehehe. So, untuk selanjutnya, hal-hal yang seperti ini memang harus sangaaat diperhatikan. Kami bersenang-senang selama hampir tiga jam lebih. Usai makan dan foto-foto grup, kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang.

Tadam, tadam, tadam. Drama belum usai pemirsa. Masih ingat kan kami tidak punya cash dan tak ada ATM sama sekali di desa ini? nah, kami akhirnya kebingungan lagi gimana cara pulangnya. Tadi, si bapak supir taxi udah memberikan kartu namanya kepada kami, kalau-kalau kami ingin pulang naik taxi lagi. Tapiiii,,, taxi kan mwahaaal ya, dan apalah kami yang mahasiswa ini dengan cita-cita ingin kaya diakhir masa study. Kita pun memutuskan mau pulang naik bus saja, sambil berdoa, semoga busnya bisa bayar pake debet card. Cilaka dua belas, busnya gak bisa bayar pake debet card! Harus Cash! Matee kitaaa. Satu-satu penumpang naik busa, dan kami masih mencoba mengais-ngais sisa receh yang kami punya. Setelah kurleb hampir sepuluh menit mencari dan menghitung, ternyata duit kami bisanya hanya untuk lima orang. Si Alberth dan Tyo mengalah untuk kami. "udah ga apa-apa, duluan aja, nanti kita cari akal lagi gimana-gimananya" kata Alberth. Eeeeh, kami gak tega doong, akhirnya kami saling dorong rebutan siapa yang mau ngalah. In the mean time, penumpang di bus udah menunjukkan wajah-wajah keganggu oleh tingkah kami, duh. Akhirnya, karena sang supir juga udah bete, kami akhirnya terpaksa naik. Setengah mau menangis, kami menatap wajah dua teman kami itu. Hiks..hikss..

Namun, the miracle does exist dan itu terjadi dimenit-menit terakhir, pemirsa. Begitu pintu bus udah mau ketutup, seorang nenek berdiri dan menuju pintu, "Hold on! you two hop in. I'll pay for you" kata beliau sambil menyodorkan uang ke bapak supir. Alhamdulillah.... kami tak henti mengucapkan terimakasih kepada si nenek, yang dijawab beliau dengan "No worries, Dear, I am happy I could help. Next time, don't forget to always bring cash. I might not be there if something like this happens again" katanya sambil mengedipkan mata, hahaha. Duuh malu campur syukur juga sih. Ah, perjalanan kemaren itu seruuu. Karena dramanya itu lah malah jadi berkesan, hehehhe.

Nah, demikianlah cerita jenjalan saya Sabtu kemaren. Semoga bermanfaat and I do hope you like it.   Sampai jumpa di petualangan selanjutnya. Oh iya, here are pics from yesterday. Enjoy!

(Ps. Foto-foto ini masih mentah banget, belum sempat diedit, jadi maklum kalau tidak terlalu cetar. Essayku menunggu soalnya :P)






Tyo dan, upss.. ada Kak Yana juga, hehehe



Dibalik foto yang kece ada teman yang ngenes - 1 (hahahaha)

dibalik foto yang kece, ada temen yang ngenes - 2, hahaha



Bany and Alberth

Tyo




Ah, jualannya cakes, padahal yang kebayang tahu isi... *menurut nganaaa???


Wednesday, 28 March 2018

Penghasilan Tambahan

Assalamualaikum.wr.wb.

Dudududu... sudah akhir bulan aja, dan utang tulisanku belum juga kutunaikan. Jadi, trigger di grup Be Molulo kali ini temanya adalah tentang penghasilan tambahan. Mayan berat, yess 😅. Pelakunya pelopor tema ini adalah JengSist Irna. Kenapa terasa berat? Soalnya, karena istilah penghasilan tambahan itu sangat sering dikaitkan dengan jualan, dll, maka rasanya sampai sekarang kayaknya saya belum pernah atau tepatnya belum ngeh kalau saya pernah melakukan aktifitas yang ditujukan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Eh apa iya? Pernah tidak? Pernah tidak? Etunggu dulu ding, sebenarnya apa sih definisi penghasilan tambahan itu???

Oke, tampaknya tidak mudah mencari definisi yang pas mengenai penghasilan tambahan ini, baik dalam literature berbahasa Indonesia, maupun dalam literature berbahasa Inggris. Ketika googling pake bahasa Indonesia, misalnya, maka yang akan saya dapatkan adalah list seperti berikut:

Oke, tampaknya ada kan, tapi ternyata pas diklik, isinya tak seperti yang saya harapkan. 
Ini apaaa???? 

Bahkan, di blog ini menyatakan definisi tentang penghasilan tambahan tak begitu penting. Penulis memang berusaha memberi penjelasan di beberapa paragraf pertama, tapiiii,,, entahlah mengapa kutak mengertiiii,, hehehhe

ini aku jujur agak kurang bisa ngeh sih

Lalu, akupun googling pake Bahasa Inggris, bahkan sampai cari jurnal ilmiahnya segala, lho,,, tapi yang kudapatkan malah bukan definisi clearnya, karena rerata penulis langsung menghubungkannya dengan tax, bla,,bla,, bla.. dan mengharapkan pembaca dapat mengerti sendirilah yaa apa itu penghasilan tambahan. Hadeuuuh.


Well, mengapa definisi itu penting bagiku? jawabannya adalah agar ketika membahas penghasilan tambahan ini, kita benar-benar berada dalam satu koridor pemahaman yang sama, hehehe. Kalau kata Whitfield (2012), yang dikutip dari sini, pentingnya memberi definisi ini itu sebagai berikut:

"definition is a statement expressing the essential nature of something.” At least that’s one way Webster defines the word.  But why is a definition so important?  Because definitions enable us to have a common understanding of a word or subject; they allow us to all be on the same page when discussing or reading about an issue."
Nah jadi jelaskan ya, megapa definisi itu penting. Okayyy, back to the topic, then. Nah, karena agak riweh juga mencari definisi penghasilan tambahan ini, 'lemme just define mine, ya, kengkawan. Menurutku, penghasilan tambahan itu adalah penghasilan yang didapatkan diluar penghasilan pokok, mau seberapa pun nominalnya. Disini, aku menegaskan satu hal, istilah penghasilan tambahan hanya akan terpenuhi, jika seseorang sudah punya penghasilan pokok dari pekerjaan utamanya. Misal nih ya, saya yang seorang dosen, penghasilan utama saya adalah gaji yang saya dapatkan sebagai imbalan  atas kinerja saya menjalankan tugas-tugas dosen (mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat) dan dibayarkan oleh institusi di mana saya bekerja. Jika saya mendapatkan pendapatan lain diluar fungsi tugas saya itu, dan yang memberi duit bukan dari institusi saya, maka itulah yang saya sebut sebagai penghasilan tambahan. Mau berapapun nominalnya, bahkan ketika jumlahnya lebih besar dari gaji saya, maka itu akan saya sebut sebagai penghasilan tambahan. Nah begitulah, kira-kira definisi saya tentang penghasilan tambahan ini. Jika ada yang tidak berkenan atau punya pendapat yang berbeda, bolehlah kita berdiskusi syantiq, hehehehe

Berangkat dari definisi tersebut, maka, rasanya saya sebenarnya sudah pernah melakukan aktifitas untuk mendapatkan penghasilan tambahan, and as such, saya bisalah ya sedikit baka-baka mengenai ini, horeeee 😆.

Kegiatan apa saja yang menjadi sumber penghasilan tambahan saya? Well, sejauh ini, tidak banyak juga sih, soalnya kesibukan saya di kampus juga agak sedikit hectic and a bit demanding, jadinya saya tidak terlalu menggeluti kegiatan tambahan tersebut. Namun, diawal-awal meniti karir, saya pernah melakukan ini dan dibayar:

Menjadi translator

Kebetulan, ketika S1 dulu, saya mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sehingga, bisa dikitlah cas cis cus dengan menggunakan bahasa ini. Pada saat itu, saya baru saja diterima menjadi dosen di UMK, dan sebagaimana dosen baru, tugas saya belum begitu banyak sehingga lumayan punya waktu luang untuk mengerjakan yang lain. Salah seorang teman saya, pada saat itu, kebetulan sedang melanjutkan kuliah dan bahan bacaannya mayoritas menggunakan bahasa Inggris. Teman saya pun meminta bantuan saya untuk menerjemahkan bacaan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Biasanya, saya tidak akan hitung-hitungan sama teman. Kalau bisa saya bantu, maka saya pasti bantu dengan gratis. Namun teman saya ini orangnya sangat menghargai kemampuan orang dan oleh karena itu, dia bersikeras mau profesional aja. "Ririn, plis, itu ilmu tidak kamu dapat dengan mudah, Say. Kamu belajar bertahun-tahun dengan tekun dan itu harus dihargai." katanya waktu itu. Saya pun setuju, dan jadilah saya mendapatkan penghasilan tambahan dari situ.

Ternyata, teman saya ini lumayan puas dengan hasil kerja saya, dan dia juga merekomendasikan kerja saya kepada teman-temannya. Alhamdulillah, rejeki anak sholehah tidak kemana, silih berganti permintaan jasa penerjemah datang kepada saya 😇. Penghasilan yang saya dapatkan bisa dibilang lumayan. Namun, karena tidak lama setelah itu, saya lanjut sekolah lagi, maka kegiatan menjadi penerjemah ini saya tinggalkan, dan saya alihkan ke adik saya.


Menjadi 'mata-mata' di Market Research Indonesia (MRI)

Ini juga terjadi ketika saya masih memegang status dosen baru. Sepupu saya kebeneran bekerja sebagai salah satu 'agen mata-mata' di MRI dan membutuhkan tenaga tambahan untuk melakukan investigasi lapangan. Targetnya adalah kualitas kinerja dan pelayanan di bebenrapa BANK di Kendari. Jadi, waktu itu saya diminta berpura-pura menjadi calon nasabah, dimana saya akan diberi sejumlah uang dan datang ke BANK untuk membuka buku tabungan. Dalam tugas itu, saya harus bisa memberi informasi terkait kualitas performa BANK. Informasi yang harus saya kumpulkan adalah berdasarkan indikator kriteria pelayanan prima yang menjadi standar MRI, misal kebersihan BANK, pelayanan staff (satpam, tellers, dan Costumer Servives (CS)). Dalam menjalankan tugas saya harus benar-benar terlihat seperti nasabah biasa. Rekaman dan foto saya lakukan secara diam-diam. Saya harus melaporkan, berapa lama saya dilayani, bagaimana staff melayani saya (ramah/tidak, bertele-tele/tidak). saya bahkan harus mencatat berapa lama waktu yang diperlukan bagi CS untuk melayani pembuatan akun tabungan saya.

Sebenarnya, yang meminta 'investigasi' sembunyi-sembunyi seperti ini adalah pihak BANK sendiri. Laporan yang diterima dari MRI akan menjadi dasar dan pertimabangan mereka untuk performa kinerja mereka. Para karyawan pun sebenarnya sudah tahu. Hanya saja yang mereka tidak ketahui adalah siapa yang akan menjadi 'mata-mata' dan kapan 'mata-mata' ini akan beraksi. Saya beberapa kali melakukan pekerjaan ini di BANK yang berbeda dengan skenario yang berbeda. Honor yang saya dapatkan bisa dibilang lumayan, dan saya sangat menikmati pengalaman ini. Namun, karena saya harus sekolah waktu itu, maka pekerjaan ini lagi-lagi saya alihkan pada adik dan teman saya, hehehe.

Naaah, demikianlah kegiatan yang menghasilkan pendapatan tambahan bagi saya. Rasanya menyenangkan bisa melakukan pekerjaan diluar rutinitas sehari-hari dan bisa menghasilkan. Mungkin, jika tugas-tugas saya sudah tidak begitu demanding, saya akan mencoba menekuni pekerjaan tambahan yang lain. Itung-itung buat biaya jenjalan sayah, pemirsa... 😂








Wednesday, 28 February 2018

Mengelola Keuangan: Menuju Ririn Tajir 2020

Assalamualaikum.wr.wb.

It’s the first day of the month today. To some fellas, the beginning of the month means the new pages of life, the new chapter of life, dan banyak hal positif lainnya. For me? Well, untukkku setiap tanggal 1 itu adalah hari di mana jumlah tabungan akan berkurang secara drastis. Transfer sewa rumah ke Landlord yang tidak boleh telat, auto debit bills (listrik dan gas), auto debit pulsa handphone, Virgin Media (untuk internet). Duuh, intinya tanggal satu itu adalah tanggal pengurasan tabungan di Bank, hehhehe.

Dari IG pribadi.
PS: Ini kalau ada tambahan uang satu penny lama, bisa bentuk perisai Inggris lho, heheh

Oh iya, tema tulisan saya kali ini adalah tentang manajemen keuangan. Saya punya grup menulis, namanya BeMolulo. Kami adalah sekelompok teman dan sahabat yang memmpunyai hobi yang sama, yakni menulis dan selalu berusaha saling menyemangati agar bisa selalu menulis. Agar tulisan kami tidak melulu curhat kosong nirfaedah dan setidaknya bisa memberi manfaat bagi yang lain, kami secara bergiliran menentukan topik tulisan yang akan kami post di blog masing-masing. Kali ini kak Irawati Hamid yang punya giliran mennetukan tema, dan temanya adalah bagaimana kami mengelola keuangan pribadi kami.

Mengelola keuangan berarti mengelola pemasukan dong ya. Maka rasanya saya perlu menyebutkan sumber pemasukan saya selama ini. Saat ini, saya adalah seorang tenaga pengajar di sebuah universitas di Kendari yang sedang menjalani kehidupan sebagai mahasiswa internasional di Inggris dengan bantuan beasiswa secara penuh. Selama menjalani tugas belajar, saya tetap menerima gaji penuh. Jadi, bisa dikatakan, sumber penghasilan saya saat ini adalah dari gaji dan dari tunjangan bulanan beasiswa saya. Untuk gaji yang saya terima setiap bulan, saya alokasikan untuk membayar cicilan saya di Indonesia dan juga sudah saya wakafkan untuk dipakai oleh orang tua dan saudara saya selama saya di Inggris. Jadi, pengelolaan keuangan yang bersumber dari gaji tidak akan saya bahas terlalu jauh. Nah, yang seru ini adalah suka-duka mengelola keuangan sebagai mahasiswa di negara yang sama sekali tidak murah ini.

Jumlah beasiswa yang saya terima alhamdulillah cukup, tapi juga tidak berlebihan. Sejujurnya, biaya hidup di Inggris ini lumayan mahal. Kota yang saya tinggali saat ini, Bristol, adalah salah satu kota dengan biaya hidup tinggi di UK, terlebih untuk urusan akomodasi. Pada tahun pertama saya tinggal di sini, bisa dibilang saya tidak bisa menabung. Biaya akomodasi saja sudah habis lebih dari separohnya untuk biaya apartemen. Belum lagi untk biaya makan, hadeuuuh.. bikin ketar-ketir deh. Apalagi, saya juga hobi nonton dan travelling. Sedikit-sedikit langsung nonton (nontonnya harus di bioskop pula, gayaaaa), atau stress dikit, langsung duduk manis nyari tiket promo buat klenong-klenong. Fixed, uang saya habis, bis, bis… (nangis dipojokan). Saya pun memutuskan hal ini tidak boleh terus menerus terjadi. Program efisiensi penggunaan dana harus segera dilaksanakan secepatnya kalau tidak mau mati iri sama tabungan teman-teman yang sehat walafiat, sementara tabunganku sendiri kritis. Nah, berikut adalah program penghematan yang saya coba lakukan sejak masuk tahun kedua saya di sini.

Merangkul teman (squad) untuk ikutan berhemat

Saya mengakui bahwa sejujurnya saya termasuk orang yang agak boros dan gampang banget tergoda oleh hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Bahkan saya seringkali membeli barang yang sama sekali tidak ingin saya beli pada awalnya. Misal, ketika saya hang out bareng teman di sebuah shopping centre. Saya, yang rencananya hanya berniat menemani teman saya belanja, seringkali malah berakhir dengan membawa tentengan yang lebih banyak dari teman saya tersebut. Dan, biasanya, ketika sudah sampai di rumah, saya pun menyesal karena telah membeli hal-hal yang tidak saya perlukan. Kontrol diri saya memang sangat lemah, saudara-saudara.

Menyadari hal ini, saya pun curhat kepada teman dan meminta mereka untuk selalu mengingatkan saya di setiap kesempatan, hehehe. Untungnya, teman saya adalah orang-orang yang baik dan mereka pun sepakat untuk menjadi ‘satpam’ saya. Bahkan, karena nasib kami hampir sama (sama-sama boros) maka kami sepakat untuk mengeluarkan kebijakan pengelolaan keuangan secara efisien melalui program “menuju (nama kami) Tajir 2020”, so, kalau saya jadinya “Menuju Ririn Kaya 2020” hahaha. Dikarenakan kami menjalaninya bareng-bareng, maka godaan untuk diet belanja hal-hal yang tidak terlalu penting itu agak sedikit bearable. Setiap misalkan saya tergoda untuk menonton film di bioskop hanya karena alasan bosan, maka teman saya akan mengingatkan dan membantu mengalihkan perhatian saya ke hal-hal yang lebih positif. Ke perpus, salah satu contohnya. Begitupun ketika mereka kebetulan mendapati saya sedang hunting tiket untuk travelling karena pengen poto-poto manjah semata, teman saya akan mengingatkan kembali untuk tidak terlalu mengikuti keinginan itu. Kalau hanya untuk hunting foto, kita bisa mengeksplore Bristol lebih jauh, atau mungkin ditunda sampai urusan kuliah beres, dsb. Kadang, setelah dingatkan begitu, saya jadi menyadari sendiri sebenarnya saya tidak perlu-perlu banget juga untuk cabut, dan akhirnya keinginan itu mereda dengan sendirinya. Uang selamat, waktu dan tenaga pun demikian, hehehe. See, disinilah peran teman cukup penting bagi saya. Semakin banyak teman yang bisa diajak berhemat bareng semakin enak karena kita tidak merasa menderita sendiri dan semakin banyak juga ‘satpam’ yang akan mengawasi kita. Pada saat yang bersamaan, kita bisa bersama-sama mengalihkan keinginan menghambur-hamburkan uang kita terhadap hal-hal yang kurang perlu dengan cara-cara yang asik seperti belajar bareng atau masak bareng.

Mencari akomodasi yang murah di luar city center

Ini adalah salah satu yang terpenting dari ikhtiar manajemen keuangan saya selama di negara Ratu Elizabeth ini. Jika tahun lalu saya tinggal di city centre, maka di tahun ke dua ini saya memilih tinggal di luar center. Perbedaan harganya gila. Bisa tiga kali lebih murah loh. Serius. Dulu, saya memang memilih tinggal di center karena waktu itu saya tidak mau ribet dengan urusan akomodasi jadi tinggal daftar ke apartemen yang dikelola oleh kampus. FYI, urusan akomodasi di sini, kalau bukan punya kampus, bisa sangaaaat ribet. Harus ada British guarantor lah, nyari agen lah, urus insurance sendiri, Bank Statement, dll. Kalau masih baru dan gak ada temen yang bisa bantu akan sangat rempong.

View dari jendela kamar di akom baru.. soo lovely!!


Setelah setahun tinggal di sini, saya sedikit banyak jadi tahu seluk beluk dunia per-akom-an dan karenanya bisa mencari dan mendapatkan akomodasi yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Bincang-bincang sama senior dan warga Indonesia yang tinggal di sini sangat membantu. Setelah perburuan akomodasi hamper dua bulan lamanya, akhirnya saya berhasil mendapatkan hunian murah meriah di luar centre. Jauhnya itu sekitar 45 menit naik bus dari rumah ke kampus (sudah termasuk dengan tunggu busnya). Untungnya, saya sudah tidak ada kuliah lagi jadi ini bukan masalah sama sekali. Saya bisa ke perpus di jam-jam tertentu sesuka hati saya tanpa takut terlambat. Keuntungan yang saya dapatkan adalah harga sewa yang tiga kali lebih murce, suasana perumaham yang tenang (di centre agak mayan hiruk-pikuknya), godaan belanja lebih sedikit (di centre, toko makanan dan pusat perbelanjaan dekat jadi godaannya besar) hehehe. Memang, ribet di awal-awal pencarian dan pengurusan, namun sekalinya kelar, kantong aman, hati tentram, hehehe. Selain itu, squad berhemat saya sangat membantu dalam pencarian rumah baru ini.

Jadikan menabung sebagai salah satu prioritas juga

Biasanya, diawal bulan, saya akan membuat list pengeluaran dalam dua kelompok. Rutin dan non rutin. Yang rutin termasuk sewa rumah, bills, internet, pulsa, tiket bus, dan belanja bulanan. Yang non rutin seperti belanja-belanja baju, nonton atau jalan, atau hang out. Karena biaya akomodasi sudah jauh lebih murah, maka sisa uang juga lebih banyak. Biasanya, kalau dulu, sisa uang yang lumayan banyak ini bisa jadi umpan bagi saya untuk travelling lagi. Namun, kali ini, karena adanya program “Menuju Ririn Kaya 2020” maka sisa uang itu bisa saya tabung tanpa banyak drama. Sekarang saya sudah bisa menargetkan jumlah uang yang mau saya tabung perbulannya berapa. Dan, karena saya menyadari bahwa pertahanan saya terhadap goadaan belanja-belanji tak penting sangat lemah, maka saya memutuskan untuk membuat rekening lain yang ATMnya tidak saya ambil. Sudah 6 bulan ini saya melakukannya dan saya merasa sangat terbantu. Dikarenakan ATM tidak ada, maka kalau mau menarik harus ke Bank dan itu sangat merepotkan bagi saya. Jadi, sejauh ini aman tentram lah uang itu di rekening, hehehe. Oh iya, saya sengaja tidak mentransfer uang saya yang dalam Poundsterling ke Rupiah karena trend Poundsterling yang selalu cenderung naik tiap tahunnya. Nanti sajalah, saya tukar ketika sudah mau pulang ke Indonesia for good. Itu pun nantinya saya langsung akan konversi ke emas karena nilainya cenderung naik. Tidak seperti rupiah yang rentan terkena inflasi.

Masak, jangan jajan mulu! 😁

Seperti yang saya sempat katakan di atas, biaya hidup di Inggris itu lumayan mwahalll. Tapi, kalau untuk hal makanan bisa kok diatur dengan baik. Malah, kalau rajin masak jatuhnya bisa jaaauh lebih murah. Let’s say, sekali makan standar di luar kita bisa habis paling murah £5, berarti dua kali makan (siang dan malam) bisa habis £10 kali tiga puluh kari kan bisa £300. Tapi, kalau kita masak sendiri, kalo untuk itunganku ya £25 perminggu itu udah lengkap banget (daging sekilo, ayam 2 kilo, beras, telur, roti, buah dan sayuran). Berarti kan perbulannya bisa £100 doang. Hemat tiga kali lipat, bok. Udah gitu lebih sehat dan terjamin halalnya juga kan. Jadi, dari pada jajan, mending masak lah.

Well, itulah empat poin caraku mengelola keuangan. Semoga bisa bermanfaat, ya. Oh ya, kalau kamu punya pengalaman juga bolehlah dishare jugak, hehehehe… 

Light at the end of the tunnel

Assalamualaikum.wr.wb. 20 Juni 2018, sebuah email yang membawa kabar gembira akhirnya menyapa hari-hariku yang penuh dengan drama kehidupa...